Quantcast
Channel: Berita Archives - Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Viewing all 1277 articles
Browse latest View live

Tantangan Pinjaman Daerah

$
0
0

SECARA kewilayahan, dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19 juga dirasakan di berbagai daerah di Indonesia. Terganggunya kegiatan operasional berbagai sektor di daerah kini terancam mengalami penurunan pendapatan hingga merugi akibat pandemi. Akibatnya, sejumlah sektor pajak yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah pun turut mengalami penurunan akibat pandemi Covid-19, satu diantaranya yakni pajak hiburan, restoran, dan hotel. Tak hanya itu, terkait dana yang bersumber dari Pemerintah Pusat, seperti Dana Alokasi Umum (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU), Transfer Daerah maupun Dana Bagi Hasil (DBH) pun juga ikut berkurang akibat Covid-19. Di samping itu, mata anggaran yang ada dalam APBD juga dialihkan untuk penanganan Covid-19. Ditambah lagi, Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dengan Menteri Keuangan menyebutkan bahwa program pembangunan minimal 50% dipotong, sehingga akan berdampak pada banyaknya program kerja yang harus ditunda atau di rubah.

Di era pandemi ini, upaya pemerintah untuk mendorong desentralisasi fiskal belum menunjukan perkembangan yang signifikan. Terutama jika dilihat dari ketergantungan akan anggaran pusat yang masih tinggi. Berdasarkan peta kapasitas fiskal daerah (KFD), dari 34 provinsi yang ada di Indonesia, 9 provinsi masuk kategori KFD sangat rendah, diantaranya adalah Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Bangka Belitung. Selanjutnya, terdapat 8 provinsi tergolong kategori KFD rendah diantaranya Jambi, Bengkulu, dan DI Yogyakarta. Kemudian, 8 provinsi masuk kategori KFD sedang, diantaranya adalah Aceh, Bali, dan Papua Barat. Sebanyak 5 provinsi masuk ketegori KFD tinggi di antaranya adalah Riau, Kalimantan Selatan, dan Banten. Terakhir, hanya terdapat 4 provinsi yang masuk kategori KFD sangat tinggi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Pinjaman Daerah dan Tantangannya
Kebutuhan pembiayaan yang terus meningkat, apalagi di era pandemi ini, tidaklah mungkin ditanggung oleh APBD yang ada saat ini. Diperlukan sumber daya lain, misalnya pinjaman daerah, dimana secara regulasi pemerintah diperbolehkan, untuk menjadi sumber alternatif pembiayaan untuk kepentingan daerah.

Pinjaman daerah dapat menjadi pilihan alternatif daerah dalam mengatasi permasalahan keterbatasan pembiayaan pembangunan. Penggunaan dana ini dapat untuk membiayai segala proyek dan program pembangunan, baik fisik maupun non fisik. Beberapa kemudahan terus dilakukan oleh pemerintah, salah satunya dengan mendirikan PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebagai institusi bisnis milik pemerintah untuk memberikan layanan pada pinjaman daerah ini secara masif, cepat dan terukur.

Meskipun memiliki potensi pinjaman yang relatif besar, namun sebagian besar daerah belum secara optimal memanfaatkan potensi tersebut untuk pembiayaan daerah. Hal ini tercermin dari kapasitas pemanfaatan pinjaman yang kecil dan bahkan tidak pernah melakukan pinjaman sama sekali. Menteri Keuangan menyebutkan bahwa rasio pemerintah daerah yang mampu dan mau melakukan pinjaman ke PT SMI hanya 16% dari seluruh Pemerintah Daerah (Pemda) yang sebetulnya eligible untuk melakukan pinjamana daerah. Data SMI juga menunjukkan bahwa dari 450 daerah yang eligible, hanya 21 Pemda yang melakukan akses dana pinjaman dari SMI.

Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 106/2018, pemerintah memberikan batas maksimal kumulatif pinjaman daerah sebesar 0,3% dari PDB. Batasan ini juga berlaku pada tahun-tahun anggaran sebelumnya. Data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa penerimaan pinjaman daerah secara nasional pada 2017 mencapai Rp7,4 triliun. Penarikan pinjaman daerah meningkat menjadi Rp12,2 triliun pada 2018. Namun, pinjaman daerah kembali menurun pada 2019 menjadi Rp9,38 triliun.

Pada aspek pembiayaan anggaran daerah, selama ini pemda cenderung lebih memanfaatkan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) atau menunggu dana APBD sebagai penerimaan pembiayaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa banyak daerah yang masih menggunakan pola pikir konvensional dalam mengelola anggaran. Padahal, PP No. 56/2018 tentang Pinjaman Daerah telah mengamanatkan bahwa pinjaman daerah bermanfaat untuk membiayai infrastruktur, investasi prasarana, hingga sarana daerah dalam rangka pelayanan publik.

Melakukan pinjaman daerah memang tak semudah menunggu turunnya dana transfer dari pemerintah pusat. Sebelum melakukan penarikan pinjaman daerah, Pemda perlu melakukan banyak persiapan. Misalnya adanya dokumen komplit terkait dengan proyek atau program yang akan dibiayai, termasuk feasibility study atas proyek yang akan diajukan pembiayaannya. Selain itu, rendahnya dan volatility PAD (Pendapatan Asli Daerah) menyebabkan rendahnya Pemda enggan mengambil risiko untuk menarik pinjaman daerah. Begitu juga, PP Nomor 56/2018 yang mengamanatkan untuk mendapatkan persetujuan DPRD, merupakan permasalahan lain yang harus diselesaikan oleh pemda. Sangat penting bagi pemda, untuk membangun hubungan yang baik dan konstruktif dengan pihak legislatif untuk membangun daerah secara bersama-sama.

Penguatan Good Governance dan Kualitas SDM
Pada dasarnya, pemerintah daerah memang tidak dapat begitu saja mengakses pasar untuk mendapatkan pinjaman. Meskipun pemerintah pusat secara implisit menjamin pinjaman pemerintah daerah tersebut, namun lembaga pinjaman tetap melakukan pembatasan dan kontrol untuk menghindari kasus gagal bayar yang pada akhirnya akan membebani anggaran pemerintah pusat. Sebagai contoh di Kanada, batasan-batasan mengenai jumlah pinjaman, jenis instrumen pinjaman, jangka waktu, tingkat bunga, dan penggunaan dana pinjaman diatur secara tegas dalam suatu peraturan. Selain itu, di Kolombia, pemerintah daerah untuk dapat melakukan pinjaman harus mendapatkan persetujuan minimal 100 orang pekerja di pemerintahan, sehingga untuk menentukannya diperlukan waktu kurang lebih 1 tahun.

Dasar analisis untuk mengetahui besarnya kapasitas pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah melalui analisis market disciplinedirect administrative controlcooperative control, dan rule – based control. Oleh sebab itu, penguatan good governance dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam pemerintah daerah menjadi kunci utama untuk mendorong pinjaman daerah. Hal serupa juga disebutkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, bahwa untuk mendorong kesediaan daerah dalam mengakses pinjaman, pemerintah akan terus memperbaiki penguatan regulasi untuk mendukung perbaikan kualitas SDM di daerah. Melalui pinjaman daerah, pemerintah daerah dapat segera menyelamatkan keberlangsungan pembangunan yang ada di wilayahnya. Pesatnya pembangunan yang terjadi di daerah diharapkan memberikan manfaat positif bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, sekaligus membaiknya kualitas dari layanan publik yang disediakan pemerintah, semoga.

Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia


Webinar Menteri BUMN: Sinergitas Perguruan Tinggi dan BUMN dalam menyongsong Kampus Merdeka

Religiusitas dalam Pengawalan Pemulihan Ekonomi Nasional

$
0
0

HAMPIR seluruh dunia, dimana umat Islam berada, saat ini sedang merayakan hari raya kurban. Hari Raya ini berbeda dengan Idul Fitri yang diawali dengan puasa ramadan selama sebulan penuh, hari raya kurban dibarengi dengan kegiatan Haji yang berpusat di dua kota suci umat Islam, Makkah dan Madinah. Hari raya ini sebagai penghargaan atas tauladan keikhlasan dan ketaatan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail atas perintah-Nya. Pengorbanan ini lah, yang seharusnya bisa menjadi tauladan dari kehidupan keseharian kita, untuk terus memberikan peranannya dalam menyelesaikan problematika sosial di sekitar kita.

Suasana kurban saat ini, menjadi sangat spesial bagi masyarakat, karena perayaannya dijalani dalam suasana pandemi Covid-19. Beriringan dengan meningkatnya jumlah pasien positif yang masih terus bertambah, dampak ekonomi yang diakibatkan juga semakin besar. Kalau kita perhatikan di berbagai negara, hampir sebagian besar negara berusaha memerangi pandemi ini dengan mengeluarkan kebijakan fiskal yang extraordinary. Mengingat sampai saat ini belum ada yang berani memastikan kapan pandemi ini akan berakhir. Ketidakpastian ini, menyebabkan pemerintah dimanapun perlu memanage kemampuan fiskalnya dengan baik dan tetap terus berjaga akan kemungkinan terburuk. Pemerintah Indonesia sendiri, telah berusaha dengan sangat ekstra untuk pembiayaan penanganan Covid-19 ini, sehingga defisit anggaran yang harusnya di angka 3%, harus dilonggarkan sampai melampaui standar yang sudah ditetapkan.

Dari berbagai berita yang dikumpulkan bisa diperkirakan jumlah hewan kurban yang disembelih pada perayaan kurban saat ini, terus bertambah secara signifikan. Dari sisi fikih kurban, angka hewan kurban yang meningkat secara signifikan ini, menggambarkan ketaatan umat akan perintah Tuhan dan ini tentu membawa pada kebersamaan “rasa” di masyarakat. Hal ini akan mendorong munculnya rasa kepedulian dan empati pada sesama yang sangat dibutuhkan saat ini. Saat manusia tidak berdaya, sebagian besar mereka secara naluri akan kembali kepada penciptanya.

Dari sisi sosial, betapa semangat “memberi” yang muncul dimana-mana saat ini, perlu dilihat sebagai modal sosial yang penting sebagai alternatif pembiayaan pembangunan saat ini. Dengan semakin besar pengeluaran masyarakat dalam bentuk pembelian hewan kurban maupun amalan lain seperti shodaqoh, zakat dan infaq, secara langsung akan mendorong konsumsi rumah tangga yang lebih tinggi. Selain itu, dana yang selama ini ngendon di perbankan atau sektor keuangan lainnya, karena kebutuhan akan hewan kurban, akhirnya harus dicairkan dan dibelanjakan. Dengan kata lain, sektor riil mendapatkan kucuran dana segar yang memang sangat diperlukan saat ini.

Efek lainnya adalah, adalah meningkatnya jumlah pemudik yang pada lebaran Idul Fitri tidak bisa mudik karena pelarangan oleh pemerintah dan MUI. Tentu saja, saat tidak ada pelarangan untuk mudik, maka bisa dipastikan jumlah pemudik akan meningkat secara signifikan. Pada kondisi normal, jumlah pemudik diperkirakan sekitar 66.000 orang, sedangkan di era saat ini, diperkirakan sebesar 99.000 orang. Tentu saja, ini akan mendorong geliat perekonomian di daerah.

Seorang sahabat menunjukkan angka yang fantastis, betapa besar nilai ekonomi dari perayaan kurban saat ini. Jika jumlah penduduk muslim Indonesia sebesar 230 juta dan 8-10% penduduk muslim melakukan kurban di era pandemi ini, dengan harga kambing sebesar Rp2,5-4,5 juta per ekor, maka potensi ekonomi yang muncul sebesar Rp70 triliun sampai dengan Rp107 triliun yang melibatkan 2,3 juta hewan ternak atau setara dengan 583 juta ton daging. Padahal kita juga tahu, bahwa pengeluaran kurban ini juga mendorong sektor lainnya juga bergerak, seperti transportasi, bumbu, freezer, hotel dan restaurant, terutama saat mereka harus mudik.

Norma Religius dalam Pengawasan
Dalam hal perubahan dalam APBN secara umum, di aspek pendapatan negara, Belanja Negara, dan Pembiayaan. Pada pendapatan negara, pemberian insentif pada dunia usaha diperpanjang sd Desember 2020 yang berupa, PPh 21 ditanggung pemerintah, pembebasan PPh 22 dan PPN Impor (Alkes) serta percepatan restitusi PPN. Pada sisi Belanja negara, menampung tambahan belanja sekitar Rp125 triliun dari Perpres Nomor 54/2020, antara lain Subsidi UMKM dan IJP UMKM, perpanjangan Bansos Tunai dan Diskon Listrik, Tambahan DID dalam rangka PEN, Belanja penanganan Covid-19 lainnya. Sementara dari sisi pembiayaan menampung kebijakan pembiayaan investasi, PMN, Penempatan dana, penjaminan dalam rangka pemulihan ekonomi nasional.

Komitmen pemerintah dalam penanggulangan Covid-19 yang sangat tinggi ini, dapat dilihat dari belanja pemerintah yang terus meningkat. Bagaimana mendorong para pelaksana kebijakan untuk menjalankan program pemulihan ini dengan motivasi tinggi dan dijalankan dengan bersih dan benar.

Akan sangat baik, jika pemerintah merangkul tokoh-tokoh agama, termasuk didalamnya lembaga resmi seperti MUI, bahkan Kyai Ma’ruf wakil presiden kita, sebelumnya adalah ketua MUI, atau tokoh agama yang ada, untuk terus aktif menyuarakan program pemulihan ekonomi nasional yang saat ini dijalankan. Pengawalan pemulihan melalui pendekatan religi, tentu memiliki efek yang berbeda, terutama jika dikaitkan dengan kewajiban muslim untuk terus memberikan sebagian rezekinya kepada sesama. Secara makro, semakin tinggi belanja masyarakat, akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi jika belanja yang dilakukan pada produk-produk dalam negeri dan produk UMKM.

Hari raya kurban saat ini, seharusnya menginspirasi kita, untuk membawa nilai-nilai agama di dalam pelaksanaan kebijakan yang kita buat. Semangat bernegara dan beragama seharusnya memang menjadi kekuatan kohesif yang perlu dibangun secara terus menerus, untuk dipupuk sebagai modal sosial yang kita perlukan untuk membuat kebijakan yang akseptabel, dan efisien dalam pencapaian, semoga.

Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Optimistis, PERTUMBUHAN ekonomi Indonesia terus menunjukkan lesunya perekonomian

$
0
0

sejalan dengan perekonomian dunia yang terkontraksi cukup dalam. Sejak kemunculan pandemi Covid-19 awal 2020, perekonomian ekonomi Indonesia terimbasi sangat keras oleh pandemi Covid-19. Terjadi gangguan baik pada pasar output maupun pasar input, mengingat sebagian besar industri kita mengalami gangguan pasar tujuan ekspornya, termasuk juga bahan baku yang sebagian besar juga harus diimpor. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa ekonomi Indonesia pada kuartal II/2020 mengalami kontraksi sebesar 5,32% (year on year /yoy).

Pelemahan pertumbuhan ekonomi tersebut sebenarnya sudah diduga oleh pemerintah dengan mengupayakan akselerasi realisasi program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Pemerintah mendeteksi bahwa penurunan yang cukup dalam tersebut karena perlambatan dari sisi belanja masyarakat, investasi, termasuk aktivitas perdagangan dalam dan luar negeri, yang perlu dikejar dalam minggu-minggu ini untuk capaian kuartal III/2020 yang lebih baik.

Kita saat ini benar-benar melihat bahwa pandemi Covid-19 telah menciptakan efek domino dari masalah sosial dan ekonomi, dan menghantam seluruh lapisan masyarakat mulai rumah tangga, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) hingga korporasi. Program PEN yang telah dirancang untuk meredam dampak yang semakin mendalam ini seharusnya menjadikan kita optimistis menghadapi ini semua, apalagi di tengah suasana politik dalam negeri yang kondusif.

Mendorong Daya Beli Masyarakat
Konsumsi rumah tangga merupakan kunci utama penggerak ekonomi dari sisi demand. Konsumsi rumah tangga berkontribusi sekitar 57% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia, sehingga kemampuan konsumsi masyarakat menjadi sangat penting dalam menjaga pertumbuhan ekonomi.

Konsumsi perlu terus digerakkan setidaknya untuk menahan pendalaman perlambatan pertumbuhan. Stimulus pemerintah melalui program bantuan langsung tunai oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta desa, penyaluran kredit usaha rakyat maupun program bunga murah untuk UMKM, percepatan proyek infrastruktur, pencairan gaji ke-13 bagi pegawai negeri sipil (PNS), hingga rencana program Bantuan Uang Tunai bagi pegawai swasta yang memiliki gaji di bawah Rp5 juta diharapkan dapat memberikan dorongan untuk memperkuat daya beli masyarakat.

Belanja pemerintah sejatinya dapat menopang pertumbuhan ekonomi, namun saat ini belum efektif. Data menunjukkan bahwa konsumsi pemerintah pada kuartal II/2020 tumbuh negatif 6,90% (yoy). Menurut BPS, kontraksi konsumsi pemerintah disebabkan oleh penurunan realisasi belanja barang/jasa dan belanja pegawai.

Data BPS menunjukkan bahwa realisasi belanja barang/jasa turun 22,17% (yoy) dan belanja pegawai juga menurun 10,64% (yoy). Kontraksi belanja barang/jasa utamanya dipengaruhi oleh penundaan dan pembatalan kegiatan kementerian dan lembaga sejak pertengahan Maret 2020 akibat pandemi Covid-19.

Di sisi lain, realisasi belanja pegawai pada kuartal II/2020 yang turun disebabkan oleh adanya perubahan kebijakan pemberian tunjangan hari raya (THR) pada 2020 serta adanya pengurangan cakupan komponen THR, yakni tidak memasukkan komponen tunjangan kinerja. Begitu juga dengan kebijakan pemberian gaji ke-13 yang diundur ke Agustus 2020 turut mengurangi realisasi belanja pegawai.

Meski konsumsi pemerintah mengalami kontraksi akibat rendahnya realisasi belanja barang/jasa dan juga pegawai, data BPS menunjukkan bahwa konsumsi pemerintah untuk bantuan sosial mengalami kenaikan 55,87% (yoy). Hal tersebut menunjukkan bahwa selama pandemi Covid-19 pemerintah berupaya untuk memberikan perlindungan sosial, sehingga BPS mencatat bahwa konsumsi pemerintah pada kuartal II/2020 bila dibandingkan dengan kuartal I/2020 tercatat meningkat 22,32% (qtq) dan menjadi satu-satunya sektor yang tumbuh positif di tengah pandemi Covid-19.

Optimalisasi Belanja
Saat ini, di mana likuiditas di masyarakat agak terbatas, sangat mendesak untuk menambah likuiditas pada masyarakat, berupa cash transfer, tambahan gaji, maupun program bantuan pemerintah pusat dan pemda lainnya. Belanja pemerintah untuk mendukung dunia usaha, dari usaha mikro, kecil, dan menengah hingga korporasi besar, sekarang ini sedang dijalankan. Setelah cukup lama kita mencari pembiayaan yang paling murah, saat ini dana sudah tersedia dengan cukup dan saatnya mendorong seluruh program PEN berjalan sesuai dengan rencana.

Salah satu kebijakan yang terbaru adalah karyawan swasta bergaji di bawah Rp5 juta akan diberikan Rp600.000 per bulan selama empat bulan. Bantuan ini akan diberikan secara langsung melalui rekening masing-masing pekerja untuk mengurangi penyalahgunaan. Fokus bantuan ini adalah 13,8 juta pekerja non-PNS dan BUMN yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Upaya ini diberikan tentu tidak lain untuk mendorong konsumsi masyarakat terus meningkat dan menggerakkan ekonomi masyarakat.

Belanja lain yang perlu didorong saat ini adalah belanja yang dilakukan oleh rumah tangga, terutama dari masyarakat yang berpunya (the have) untuk terus membelanjakan dananya dalam bentuk hadiah, sumbangan, atau yang muslim, zakat, infak, sedekah, berusaha membeli produk yang dihasilkan tetangga sendiri. Hal ini selain mendorong belanja masyarakat meningkat, juga akan memunculkan rasa saling menolong di antara masyarakat yang tentu saja ini akan menjadi kekuatan pemulihan ekonomi yang sangat besar di periode berikutnya.

Jika dilihat dari wilayah, data BPS menunjukkan bahwa Pulau Jawa menjadi wilayah yang pertumbuhannya terkontraksi paling dalam akibat Covid-19, yakni 6,69%. Padahal, Pulau Jawa berkontribusi 58,55% terhadap PDB Indonesia. Pertumbuhan ekonomi di hampir seluruh pulau Tanah Air negatif sepanjang April-Juni.

Sumatera terkontraksi 3,01%, Bali dan Nusa Tenggara 6,29%, Kalimantan 4,35%, serta Sulawesi 2,76%. Hanya Maluku dan Papua yang bisa tumbuh positif 2,37% pada kuartal II. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi kedua provinsi yang positif tersebut tidak mampu mendongkrak perekonomian nasional. Pasalnya, hanya Pulau Jawa dan Sumatera yang selama ini memiliki kontribusi besar terhadap PDB Indonesia.

Maka sangat penting bagi pemerintah daerah di wilayah Jawa untuk memperbaiki dan meningkatkan kue belanja APBD-nya, termasuk menyukseskan seluruh program PEN sebagai bagian dari program pemulihan ekonomi termasuk menyongsong masuknya investasi asing maupun domestik yang dipastikan akan masuk Indonesia, mengingat beberapa pasar ekspor sudah membaik saat ini (seperti China maupun Timur Tengah).

Tantangan pandemi belum usai, namun ketahanan ekonomi nasional juga perlu dijaga. Masih ada peluang ekonomi tumbuh; meski dengan catatan, realisasi berbagai program dan belanja pemerintah dapat berjalan efektif. Pemerintah harus melakukan langkah extraordinary untuk mendorong ekonomi agar dapat bertahan di triwulan III dan IV tahun 2020. Kebersamaan seluruh komponen bangsa, keserasian langkah antarkementerian/lembaga, pemerintah pusat dan daerah, menjadi kunci keberhasilan program, yang lebih penting lagi agar Indonesia terhindar dari resesi. Semoga!

Kemerdekaan dan Pertanian

$
0
0

PANDEMI

Covid-19 telah berdampak signifikan pada kegiatan ekonomi nasional maupun daerah. Terganggunya kegiatan operasional berbagai sektor ekonomi, menyebabkan daerah mengalami penurunan pendapatan yang cukup dalam, walaupun berbeda kedalaman antar daerah. Menghadapi ini semua, tentu pemerintah pusat tidak dapat bekerja sendirian untuk menghadapi dan menyelesaikan problematika ekonomi saat ini.

Sekarang ini, kita bisa melihat bahwa kedalaman dampak Covid-19 antara satu wilayah dengan wilayah lainnya tidaklah sama. Daerah dengan basis industri seperti Banten, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat termasuk Jawa Tengah adalah daerah terdampak yang cukup besar. Data BPS menunjukkan bahwa pulau Jawa, yang memiliki kontribusi sebesar 58,55% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, menjadi wilayah yang pertumbuhannya terkontraksi paling dalam akibat Covid-19, yakni sebesar 6,69%. Di sisi lain, Pulau Sumatera terkontraksi 3,01%, Bali dan Nusa Tenggara 6,29%, Pulau Kalimantan 4,35%, serta Pulau Sulawesi 2,76%. Hanya Pulau Maluku dan Papua yang bisa tumbuh positif 2,37% pada kuartal II.

Daerah Dorong Pertanian
Bertahan di tengah beratnya ancaman pandemi Covid-19 menyebabkan perekonomian Indonesia mengalami kontraksi di kuartal II –2020 hingga minus 5,32%. Kita melihat bahwa capaian ini masih relatif baik, apalagi jika kita lihat capaian triwulan II beberapa negara tetangga termasuk negara yang seukuran dengan kita.

Pada laporan BPS terakhir, ada sektor yang masih memberikan harapan pada bangsa ini, yakni pertumbuhan sektor pertanian yang masih positif, termasuk sektor teknologi informasi, dan sektor pengadaan air. Ketiga sektor itu seperti menjadi ‘Juru Selamat’ di tengah tumbang massal sektor lain, di mana pertanian tumbuh tinggi di kuartal II – 2020, yakni 16,24%. Kalau kita menengok kebelakang kembali, pada krisis moneter 1998, sektor pertanian jualah yang menjadi sektor penyangga untuk menampung kembali tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan saat itu.

Produk dari sektor pertanian beserta hasil turunannya pada dasarnya merupakan kebutuhan dasar manusia, sehingga ketika terjadi bencana, seluruh masyarakat pasti akan tetap berupaya mendapatkan hasil sektor pertanian untuk konsumsi untuk kebutuhan pangan maupun cadangan konsumsi. Bisa dikatakan bahwa sektor pertanian merupakan potential winner sector di tengah pandemi. Selain itu, sektor pertanian juga cenderung lebih mudah beradaptasi dengan protokol kesehatan yang ditetapkan dibandingkan dengan sektor lain. Kegiatan di sawah dan lingkungan terbuka serta kemampuan menjaga jarak saat bertani membuat resiko penularan Covid-19 di sektor pertanian secara umum lebih rendah dibanding sektor lainnya.

Melihat tingginya resiliensi sektor pertanian dalam menghadapi bencana Covid-19 dapat digunakan sebagai peluang bagi pemerintah, terutama Pemerintah Daerah (Pemda) untuk dapat kembali membangkitkan ekonomi daerahnya dari keterpurukan. Sebagai negara agraris, sejatinya Indonesia telah memiliki modal dalam menghadapi ancaman krisis ekonomi yang disebabkan oleh bencana Covid-19 melalui sektor pertaniannya. Bukan tidak mungkin Indonesia dapat keluar menjadi pemenang apabila dapat mengoptimalkan sektor pertanian secara tepat dan efisien. Sebagai contoh, tak sedikit warga Bali yang kembali ke sektor pertanian setelah terpukulnya sektor pariwisata akibat Covid-19. Oleh sebab itu, sangat tepat jika Pemda mendorong sektor pertanian sebagai leading sector dalam program pemulihan ekomnomi daerah.

On Farm, Off Farm, Support System
Pembangunan sektor pertanian selama ini mengalami pasang surut, pernah menjadi andalan di awal 70’an dengan revolusi hijau, dimana saat ini peningkatan produksi pertanian merupakan target utama. Bahkan pembangunan infrastruktur seperti sistem irigasi, pembiayaan perbankan, berjalan dengan baik dan berujung pada swasembada pangan pada akhir 70’an. Peneliti Center of Food, Energy and Sustainable Development menilai bahwa pertumbuhan sektor pertanian tersebut masih akan terus terjadi selama pandemi sampai pasca pandemic. Momentum ini seharusnya dapat menjadi refleksi bagi pemerintah, khususnya Pemda untuk memberikan dukungan secara maksimal pada sektor pertanian, khususnya kepada para petani di lapangan. Selama ekonomi bergejolak, sektor pertanianlah yang terbukti mampu menjadi penyelamat ekonomi masyarakat, terutama bagi kelompok masyarakat kecil di pedesaan.

Rumitnya permasalahan di sektor pertanian perlu segera diurai melalui penguatan sistem yang terintegrasi pada sektor pertanian. Sistem tersebut meliputi on farmoff farm, dan supporting system. Dukungan dari sisi on farm melalui upaya peningkatan produksi pertanian, peningkatan nilai tambah, termasuk perbaikan kualitas bibit. Sedangkan pada off farm, perbaikan pasca panen, kualitas dan efisiensi proses pengolahan dan produk perlu terus dilakukan. Pada supporting system, yang terdiri kualitas infrastruktur, akses perbankan/pembiayaan, perlindungan produk, akses pasar, termasuk penerapan teknologi, merupakan paket sistem yang harus dibangun secara bersama-sama. Kita tentu tidak saja hanya membangun sektor produksi (on farm) saja, tetapi pasar dan pengolahan kita terlantarkan, maka petani akan seperti saat ini, penuh ketidakpastian, harga lebih banyak di tetapkan pasar dan tidak adil bagi petani.

Karena umur petani saat ini semakin tua, menurut BPS paling muda berusia 49 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian kurang memberikan insentif bagi kalangan muda untuk terjun ke sektor tersebut. Di Jepang, semacam Dana Desa, diperbolehkan untuk dipakai pengembangan sektor pertanian dengan mengundang pemuda –pemuda Jepang kembali ke sektor pertanian. Pemuda-pemuda ini akhirnya kembali ke Desa, dan menerapkan Artificial Intelligence (AI) dalam membangun sektor pertanian. Melihat ini, sebenarnya peluang bagi pemerintah saat ini, memberikan insentif anak-anak muda Indonesia untuk kembali ke desa dan memberikan kesempatan mereka untuk menerapkan teknologi dalam pengembangan sektor pertanian ini. Belanda, New Zealand, termasuk Jepang, adalah negara –negara yang tetap membangun sektor pertanian nya dengan daya saing yang tinggi dan menghasilkan pendapatan negara yang sangat cukup untuk membangun kesejahteraan rakyatnya.

Pada hari kemerdekaan ini, tentu ini perlu jadi renungan yang mendalam bagi kita semua sebagai warga negara untuk mengingat kembali cita-cita para founding fathers kita, kemerdekaan dalam menentukan arah kebijakan dan strategi pembangunan yang kita inginkan, untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh bangsa. Tentu ini belum kita dapatkan, tetapi kita berharap langkah –langkah saat ini yang diambil pemerintah tidak keluar dari rel menuju kesejahteraan bersama, semoga -wallahu’alam.

Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Pariwisata: Kapan Bangkit?

$
0
0

SEBAGAI salah satu sektor yang terdampak sangat dalam, kini sektor pariwisata berupaya keras mencari formula yang sesuai untuk dapat kembali bangkit dari keterpurukan dan memberikan kontribusi besar bagi perekonomian nasional.

Sebelum pandemi terjadi, sektor pariwisata merupakan salah satu sektor unggulan yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian domestik. Pariwisata merupakan komoditas yang paling berkelanjutan dan menyentuh hingga ke level bawah masyarakat. Sektor pariwisata dinilai memiliki andil cukup besar dalam pendapatan devisa negara, termasuk dalam penciptaan kesempatan kerja. Sejak 2013-2019 setiap tahun kontribusi sektor pariwisata terhadap perekonomian nasional terus menanjak. Pada tahun 2019, kontribusi sektor pariwisata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 4,8%. Nilai tersebut meningkat 0,30 poin dibandingkan tahun sebelumnya. Tak hanya itu, sektor pariwisata di Indonesia juga telah menjadi andalan devisa negara. Pada tutup buku 2018, sektor ini mampu menyumbang devisa terbesar dengan nilai mencapai lebih dari USD19,2 miliar. Devisa terbesar sektor wisata ini disumbang dari Bali dengan kontribusi mencapai 40%. Disusul Jakarta dengan 30% dan Kepulauan Riau (Kepri) dengan kontribusi 20%.

Kemajuan pesat sektor pariwisata Indonesia juga ditunjukkan melalui peningkatan daya saing di tahun 2019. Laporan The Travel & Tourism Competitiveness Report yang dirilis WEF (World Economic Forum) 2019 menunjukkan bahwa peringkat indeks daya saing pariwisata Indonesia di dunia mengalami peningkatan dari peringkat 42 di tahun 2017 menjadi peringkat 40 di tahun 2019.

Melihat pesatnya perkembangan sektor pariwisata, tak heran jika pemerintah berjibaku untuk meningkatkan kinerja sektor pariwisata. Salah satunya dengan menciptakan 10 destinasi pariwisata unggulan di antaranya Danau Toba, Labuan Bajo, dan Candi Borobudur. Program 10 destinasi pariwisata tersebut merupakan program pemerintah untuk mengembangkan 10 destinasi wisata prioritas untuk mendongkrak pemerataan pariwisata Indonesia. Pengembangan 10 destinasi tersebut juga diharapkan bisa menciptakan lapangan kerja di 10 destinasi wisata prioritas.

Pariwisata di Tengah Pandemi
Kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB global pada 2019 sebesar 10% dan diperkirakan akan meningkat menjadi 50% pada dekade berikutnya. Ironisnya, harapan tersebut dalam sekejap pupus ketika dunia dihadapkan dengan wabah Covid-19 yang berdampak signifikan terhadap sektor pariwisata, termasuk Indonesia. Wabah ini telah menciptakan efek domino yang terparah dalam ekosistem pariwisata.

Sejak pandemi Covid-19 muncul di Indonesia pada awal 2020, sektor pariwisata dan berabagai sektor turunannya (seperti hotel, makanan-minuman, penyedia layanan kebersihan, pemandu wisata lokal dan transportasi) mengalami pukulan besar. Data LPEM UI (2020) menyebutkan bahwa jumlah penumpang pesawat rute internasional yang tiba di Indonesia berkurang tajam dari 1,5 juta orang pada Desember 2019 menjadi 1,15 juta orang pada Januari 2020. Jumlah ini juga lebih rendah 15% dibandingkan Januari 2019. Sebagai imbas dari berkurangnya wisatawan, tingkat okupansi hotel di Bali juga mengalami penurunan tajam dari 63% di Desember 2019 menjadi hanya 46% di Februari 2020. Selain itu, Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyebutkan bahwa hingga Juni 2020 terdapat 1.266 hotel yang telah tutup karena terdampak Covid-19. Berdasarkan jumlah tersebut, diperkirakan terdapat lebih dari 150.000 orang karyawan yang terdampak.

Transformasi Pariwisata
Selalu ada hikmah di balik musibah. Di tengah hantaman Covid-19 yang harus dihadapi oleh sektor pariwisata, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pandemi Covid-19 dapat menjadi momentum transformasi bagi sektor pariwisata di Indonesia. Pemerintah berencana membangun kembali sektor pariwisata yang merupakan sektor paling terdampak Covid-19. Guna membangun kembali sektor itu, pemerintah telah menganggarkan dana sebesar Rp14,4 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021. Pemerintah berencana untuk fokus melanjutkan pembangunan destinasi wisata, seperti wisata Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang. Selain itu, pemerintah juga akan berupaya mengembangkan aspek atraksi, aksesibilitas, dan amenitas untuk dapat menarik wisatawan domestik maupun internasional, serta pemerintah juga akan melakukan peningkatan promosi dan partisipasi pelaku usaha swasta.

Saat ini berbagai cara pandang baru yang inovatif sangat diperlukan oleh sektor pariwisata dan berbagai sektor turunannya untuk dapat segera bangkit dari keterpurukan. Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) baru-baru ini merilis seperangkat pedoman yang akan membantu sektor pariwisata global kembali beroperasi dengan lancar dan aman, serta menyoroti pentingnya inovasi dan teknologi dalam membangun ketahanan industri. Penyedia akomodasi, maskapai penerbangan, dan operator tur juga perlu menyesuaikan diri dengan perubahan ekspektasi wisatawan yang mungkin terlihat sangat berbeda pasca pandemi. Riset Agoda.com menunjukkan bahwa para wisatawan mengharapkan lebih banyak pengalaman perjalanan mereka pada tahun 2020-an menggunakan kemajuan teknologi yang meningkatkan efisiensi dan kemudahan pemesanan dan perjalanan.

Memasuki era new normal seperti saat ini, salah satu sektor wisata yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan ialah wisata alam. Hal tersebut lantaran kondisi terbuka di wisata alam membuat risiko lebih rendah saat berwisata di tengah pandemi. Oleh sebab itu, Indonesia dengan berbagai kekayaan alam yang melimpah sejatinya dapat memanfaatkan hal tersebut untuk membangkitkan kembali sektor pariwisata. Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia memiliki wisata alam yang indah seperti Danau Toba, Labuan Bajo kemudian Bali dan berbagai tempat lainnya.

Meski perjalanan antar negara masih sangat dibatasi demi menjaga penyebaran Covid-19, maka pemerintah perlu mendorong wisatawan domestik untuk turut membantu pemulihan pariwisata. Di sisi lain, pihak penyelenggara wisata juga perlu menumbuhkan kepercayaan wisatawan dalam memberikan rasa aman sehat dan nyaman untuk berwisata. Di samping itu semua, koordinasi dari semua pihak terkait sangat diharapkan untuk membawa sektor pariwisata kembali bangkit. Dengan segala upaya ini semua, setidaknya sektor pariwisata mampu menjadi jump start yang baik untuk pemulihan ekonomi nasional. Semoga.

Prof. Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Harmoni

$
0
0

PANDEMI Covid-19 yang melanda Indonesia telah memberi tekanan berat kepada perekonomian nasional. Banyak pelaku usaha terpaksa menutup gerai karena tak kuat menahan beban operasional yang terus membengkak, yang berdampak pada ancaman karyawan yang kehilangan pekerjaan. Pada kondisi ini, pemerintah berupaya memberikan stimulus untuk mengakselerasi pemulihan perekonomian akibat Covid-19 melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan total dana sebesar Rp695,20 triliun. Rincian dari total dana tersebut adalah untuk bansos sebesar Rp203,9 triliun, UMKM sebesar Rp123,46 triliun, insentif usaha Rp120,61 triliun, kementerian/lembaga atau pemerintah daerah Rp106,11 triliun, kesehatan Rp87,55 triliun, dan pembiayaan korporasi Rp53,55 triliun.

Hingga kini program PEN telah berjalan dengan jumlah serapan yang cukup besar. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan program PEN, realisasi anggaran dari enam kelompok program pemulihan ekonomi nasional dilaporkan telah mencapai Rp194,95 triliun atau sebesar 28%. Semakin cepat proses dan eksekusi program PEN ini, tentu akan sangat baik bagi pulihnya perekonomian nasional. Saat ini, pemerintah terus berusaha mendorong realisasi seluruh program PEN ini, yang ada di masing-masing K/L, terutama permasalahan birokrasi dan administrasi program yang seringkali menjadi hambatan tersendiri.

Defisit APBN
Berawal dari masalah kesehatan, dampak pandemi Covid-19 kini telah meluas ke masalah sosial, ekonomi, bahkan ke sektor keuangan sehingga membutuhkan upaya luar biasa untuk menanganinya. Penanganan pandemi dengan melibatkan stimulus fiskal yang besar bukan hanya dilakukan oleh Indonesia, tapi juga semua negara di dunia yang terjangkit virus ini. Penanganan luar biasa yang dilakukan oleh banyak negara seperti Jerman, Amerika, dan China, Jerman telah mengalokasikan stimulus fiskal sebesar 24,8% dari PDB-nya. Meski demikian, upaya tersebut belum mampu menyelamatkan ekonominya yang hanya terkontraksi -11,7% di kuartal kedua 2020. Selain itu, Amerika Serikat (AS) juga telah mengalokasikan stimulus fiskalnya hingga 13,6% dari PDB, meski akhirnya pertumbuhan ekonominya juga masih terkontraksi hingga -9,5%. Sedikit berbeda dengan Tiongkok, negara tersebut mengalokasikan stimulus sebesar 6,2% dari PDB. Tiongkok telah kembali tumbuh positif 3,2% di kuartal kedua setelah mengalami pertumbuhan -6,8% di kuartal sebelumnya.

Seiring dengan upaya keras pemerintah untuk menstimulus ekonomi nasional, tentu menyebabkan pembiayaan yang lebih besar. Hal ini dikarenakan kebutuhan belanja negara untuk penanganan kesehatan dan perekonomian meningkat pada saat pendapatan negara mengalami penurunan. Di tengah pendapatan negara yang menurun, belanja negara naik menjadi Rp2.738,4 triliun dari sebelumnya Rp2.613,8 triliun. Pemerintah melalui Undang-Undang (UU) Nomor 2/2020, di mana pemerintah diberi keleluasaan terhadap defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di atas tiga persen selama tiga tahun. Pada awal APBN 2020, defisit ditargetkan 1,76% dari PDB. Selanjutnya akibat pandemi korona, pemerintah menaikkan defisit menjadi 5,07% dari PDB pada April 2020 yang dituangkan dalam Perpres Nomor 54/2020. Pemerintah kembali menaikkan defisit APBN 2020 menjadi 6,27%, kemudian 6,34% yang dituangkan dalam Perpres Nomor 72/ 2020, dan kali ini menjadi 6,38% dari PDB.

Bagi pemerintah Indonesia, ada alasan penting terkait pembiayaan yang sangat krusial ini, walaupun itu harus berdampak pada pelebaran defisit yang sangat lebar. Pemerintah berharap dengan pembiayaan yang masif ini, sektor-sektor ekonomi yang mengalami perlemahan, tidak sampai jatuh terlalu dalam. Harapannya, saat pandemi ini berakhir, akan lebih mudah bagi sektor ekonomi tersebut untuk memulai produksi kembali (jump start). Oleh sebab itu, efektivitas dan keberhasilan program pemulihan ini sangat menentukan bagaimana kinerja perekonomian Indonesia setelah pandemi ini.

Di tengah lesunya aktivitas ekonomi akibat pandemi, peran pemerintah melalui belanja pemerintah sangat diperlukan untuk memberikan multiplier effect bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Sayangnya, belanja pemerintah, yang diharapkan menjadi motor penggerak perekonomian, ternyata tercatat tumbuh minus 6,9%. Hal ini dikarenakan penurunan realisasi belanja barang dan jasa serta belanja pegawai dibanding kuartal yang sama pada tahun sebelumnya. Selain itu, dampak adanya kebijakan realokasi dan refocusing juga sedikit menghambat proses belanja APBD di masing-masing daerah. Secara umum, kita bisa simpulkan bahwa saat sektor swasta dan rumah tangga sama-sama terpukul, maka belanja pemerintah yang kontraktif menjadi kunci utama untuk memulihkan ekonomi nasional. Dengan kata lain, mendorong belanja pemerintah di kuartal III dan IV mutlak perlu dilakukan pemerintah, agar pertumbuhan di kuartal III bisa sesuai harapan kita semua.

Harmonisasi Belanja Pusat dan Daerah
Langkah ideal yang diperlukan Indonesia saat ini dalam mendorong belanja pemerintah adalah dengan memperbaiki sinkronisasi belanja antara pusat dan daerah. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan pemerintah daerah (pemda) memiliki peran yang besar untuk mengungkit upaya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), termasuk juga berperan mendukung kelanjutan pelaku UMKM terdampak Covid-19. Dalam konteks PEN, pemerintah pusat mengalokasikan pos untuk belanja sektoral dan pemda dengan pagu anggaran mencapai Rp106 triliun. Berdasarkan pagu anggaran tersebut, alokasi yang diarahkan untuk pemda di antaranya Dana Insentif Daerah (DID) pemulihan ekonomi Rp5 triliun, cadangan Dana Alokasi Fisik (DAK) Rp8,7 triliun, fasilitas pinjaman daerah Rp10 triliun, dan cadangan perluasan Rp58,87 triliun. Selain itu juga ada alokasi untuk pariwisata Rp3,8 triliun, insentif perumahan Rp 1,3 triliun, serta program padat karya kementerian dan lembaga Rp18,44 triliun. Khusus untuk pos sektoral dan pemda, dari pagu Rp106 triliun tersebut, sayangnya baru terealisasi sebesar Rp7,4 triliun atau hanya 6,99%.

Tak hanya dalam hal realisasi dana PEN, namun dalam kuartal ke depan optimalisasi peran pemerintah daerah juga perlu ditingkatkan dalam hal penyerapan anggaran di kementerian dan lembaga terkait. Data menunjukkan bahwa sampai saat ini serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih belum menunjukkan perbaikan. Bahkan, masih terdapat dana pemerintah daerah yang mengendap di bank sebesar Rp170 triliun. Data Kemendagri menyebutkan, ada lima provinsi dengan serapan di atas rata-rata nasional yakni DKI Jakarta 54,06%, Kalimantan Selatan 53,49%, Sumatera Barat 51,88%, Sulawesi Selatan 50,25% dan Gorontalo 48,81%. Sementara itu masih ada dua provinsi dengan serapan kurang dari 25% yakni Sulawesi Tenggara 24,56% dan Papua 21,57%.

Peningkatan dan percepatan realisasi belanja daerah sangat diperlukan. Kunci meningkatkan realisasi belanja di daerah saat ini terletak pada percepatan program-program stimulus penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Jika diperlukan, pemerintah daerah setempat perlu mengurangi persyaratan administrasi dalam upaya mempercepat realisasi belanja. Selama ini, disinyalir bahwa salah satu yang memperlambat realisasi anggaran belanja karena panjangnya alur birokrasi keuangan. Melalui harmonisasi belanja pusat dan daerah serta birokrasi yang cepat dan benar, maka kita harus yakin bahwa pemulihan ekonomi akan berjalan lebih cepat sesuai yang kita harapkan bersama, aamiin.

Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Jurusan Ilmu Ekonomi (JIE) Mengabdi di Kecamatan Pakis Kabupaten Malang

$
0
0

Desa sebagai entitas pemerintahan paling bawah memiliki otonomi yang didukung oleh kewenangan skala lokal untuk menentukan pembangunan secara partisipatif demi memberikan pelayanan pada kebutuhan masyarakat setempat. Kecamatan Pakis sebagai wilayah strategis terdampak jalan tol harus dapat memperoleh manfaat positif dari pembangunan infrastruktur melalui penguatan kemampuan desa dan mendukung perangkat teknis pelaksanaan pembangunan desa.. Dalam rangka peningkatan kapasitas, pengetahuan maupun ketrampilan aparat desa dan masyarakat Jurusan Ilmu Ekonomi (JIE), Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya menginisiasi kegiatan JIE Mengabdi 2020 yang bekerjasama dengan Pemerintah Desa di wilayah Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang.

Melalui kegiatan ini segenap dosen Jurusan Ilmu Ekonomi hadir dan belajar bersama masyarakat Kecamatan Pakis, tepatnya pada tanggal 5 September 2020. Menurut ketua pelaksanaa Dr Setyo Tri Wahyudi, kegiatan yang disertai dengan protokol kesehatan Covid 19 ini terdiri dari peningkatan kapasitas aparatur desa dalam perencanaan/pengganggaran desa, pengelolaan BUMDES berbasis digital, sosialisasi produk pembiayaan dan jasa keuangan syariah, pelatihan kewirausahaan berbasis tanaman organik, hingga pemberian bantuan buku dalam rangka meningkatkan minat baca masyarakat Kecamatan Pakis.

Kegiatan yang diselenggarakan di delapan desa ini mendapatkan antusiasme yang tinggi baik dari para peserta (masyarakat), perangkat desa maupun perangkat Kecamatan Pakis. Dalam diskusi di Desa Sukoanyar Prof Candra Fajri Ananda mengemukakan bahwa dana desa harus dapat dimanfaatkan secara tepat waktu dalam masa covid karena desa merupakan basis utama perlawanan terhadap penanganan pandemik tersebut. Ditempat yang sama Prof Maryunani menjelaskan pentingnya Bumdes sebagai basis ekonomi masyarakat perlu dikelola secara tepat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Banyaknya feedback positif yang dihasilkan dari kegiatan ini mendorong JIE untuk meningkatkan kerjasama berbasis pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan sebagai bagian dari pengabdian masyarakat dan juga saling belajar diantar perguruan tinggi dan masyarakat sekitar.

Video :


Resiliensi Perbankan

$
0
0

HANTAMAN dampak pandemi Covid-19 terhadap ekonomi nasional kini sedang berlangsung dan kita belum bisa memastikan sampai seberapa dalam dampak yang terjadi. Laju ekonomi kuartal I 2020 tercatat 2,97% atau terkontraksi 2,41% dibanding kuartal IV 2019. Bahkan, pada kuartal II kontraksi ekonomi makin dalam hingga minus 5,32%. Penurunan ekonomi selama pandemi terjadi karena banyak aktivitas ekonomi, terutama perdagangan, pariwisata yang tersendat. Kerapuhan sektor riil yang terjadi saat ini, perlu diantisipasi dengan baik, terutama kebijakan yang sifatnya protektif dan stimulatif untuk mencegah perembetan pada sektor lain terutama sektor keuangan dan perbankan.

Hantaman terhadap sektor perbankan sebenarnya telah terjadi di beberapa negara di ASEAN jika dilihat capaian pertumbuhan ekonomi yang lebih lemah dimana hal tersebut mengakibatkan perlambatan pertumbuhan kredit dan berujung pada penurunan profitabilitas industri perbankan. Fitch Ratings menilai, bank-bank di Thailand dan Singapura yang bergantung pada pariwisata, merupakan sektor yang paling terpengaruh oleh Covid-19. Ketergantungan Thailand pada pariwisata berimbas pada sektor UKM yang menyumbang 33% portofolio kredit perbankan. Selain itu, sektor perbankan di Vietnam juga mengalami keterpurukan akibat berkurangnya pemasukan dari sektor pariwisata, terganggunya rantai pasok manufaktur serta melemahnya permintaan ekspor yang pada akhirnya membebani kualitas aset perbankan di Vietnam. Disisi lain, perbankan di Singapura juga telah terdampak Covid-19 lantaran 24% kredit mereka mengalir ke berbagai perusahaan asal China yang juga sedang mengalami gangguan pandemi.

Perbankan Indonesia di Masa Pandemi
Perbankan merupakan jantung bagi kelancaran aliran darah aktivitas ekonomi di suatu perekonomian. Perbankan mempunyai peranan yang sangat strategis, salah satunya sebagai lembaga intermediasi aliran dana dari pemerintah ke masyarakat atau sebaliknya. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat sangat penting untuk dijaga guna meningkatkan efisiensi intermediasi serta mencegah terjadinya bank runs and panics. Kepercayaan masyarakat terhadap bank juga diperlukan karena bank tidak memiliki uang tunai yang cukup untuk membayar kewajiban kepada seluruh nasabahnya sekaligus.

Pandemi yang tak kunjung usai telah membawa lembaga Pemeringkat Internasional, Moody’s Investors Service menurunkan outlook perbankan nasional dari stabil menjadi negatif untuk 12-18 bulan ke depan. Hal itu seiring kondisi ekonomi yang kian melemah. Tim analis Moody’s menyatakan kualitas kredit akan menurun meski restrukturisasi dan penurunan suku bunga kredit bisa memberikan sedikit dukungan. Meski demikian, tebalnya permodalan dapat menjadi penawar untuk menghadapi risiko yang meningkat saat ini.

Selama tiga tahun belakangan, rasio kecukupan modal alias CAR perbankan memang tercatat stabil di atas 20%, lebih besar dibandingkan kondisi saat krisis global 2008 yang di kisaran 16-17%. Per Januari 2020, CAR nyaris mencapai 23%. Meski demikian, tekanan pada profitabilitas perbankan akan sulit dihindari. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkirakan laba perbankan hingga akhir tahun akan menyusut sekitar 30% – 40% dibandingkan dengan tahun lalu. Penurunan keuntungan perbankan telah terlihat pada kuartal II 2020. Sepanjang April hingga Juni 2020, laba bank sebelum pajak tercatat turun 19,8% dari tahun lalu.

Anjloknya keuntungan tersebut lantaran banyaknya restrukturisasi kredit akibat Covid-19. Berdasarkan data OJK, tingkat kredit macet perbankan mengalami kenaikan 3,22%. Angka tersebut naik dari posisi Juni yang mencapai 3,1%. Meski terjadi penurunan laba dan peningkatan kredit macet, namun data OJK menunjukkan bahwa likuiditas perbankan Indonesia cukup memadai untuk dapat menyalurkan kredit guna mendukung pertumbuhan ekonomi. OJK mencatat hingga Agustus 2020, total Alat Likuid (AL) perbankan mencapai Rp1.913 triliun. Artinya, hingga saat ini sektor jasa keuangan di Indonesia masih memiliki kapasitas yang memadai, baik dari sisi permodalan maupun likuiditas, untuk menyalurkan kredit atau pembiayaan yang dapat mendukung target pertumbuhan ekonomi dari pemerintah.

Di balik ketahanan sektor perbankan secara umum di Indonesia, namun sejatinya tidak semua bank memiliki ketahanan yang sama di tengah wabah Covid-19. Ketahanan individu internal bank dengan aset kecil dan tidak sistemik, serta bank dengan tata kelola yang buruk akan rentan rapuh dalam menghadapi situasi saat ini. Pada sisi modal, bank dengan aset terbatas tidak memiliki permodalan yang besar, sementara dari rasio Dana Pihak Ketiga (DPK) bank kecil hanya berpusat pada beberapa deposan. Akibatnya, risiko likuiditas tersebut terjadi karena adanya penurunan rasio DPK dan cash inflow pada individu bank, di mana risiko likuiditas tersebut dapat meningkat selama masa pandemi. Ancaman Covid-19 terhadap likuiditas bank juga rentan bagi bank yang memiliki tata kelola yang buruk. Good Corporate Governance yang menerapkan prinsip–prinsip Keterbukaan (Transparency), Akuntabilitas (Accountability), Pertanggungjawaban (Responsibility), Independensi (Independency), dan Kewajaran (Fairness) tersebut kini di masa pandemi mampu memperkuat ketahanan kondisi internal Bank dalam menghadapi lesunya ekonomi nasional.

Efisiensi Perbankan
Tidak ada yang menyangka kondisi ekonomi sekaligus industri perbankan akan menghadapi kondisi seberat ini akibat pandemi Covid-19. Kendati demikian, asa untuk pertumbuhan yang agresif masih tetap terjaga. Sejak April hingga Agustus 2020 pemerintah, Bank Indonesia (BI), OJK, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tak henti-hentinya menggodok insentif, relaksasi, dan mendorong batas wewenangnya untuk dapat terus menjaga stabilitas sekaligus mendongkrak kinerja perbankan.

Peran bank sebagai lembaga intermediasi, khususnya dalam menyalurkan kredit, kini sangat diperlukan oleh masyarakat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Mengacu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43/2020 yang merevisi PP Nomor 23/2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Covid-19, kini semua bank sehat bisa mengakses dan menyalurkan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pemerintah melakukan penempatan dana senilai Rp123,46 triliun di perbankan sebagai stimulus pemulihan usaha debitur UMKM yang terdampak pandemi Covid-19. Kebijakan tersebut diharapkan bisa meningkatkan penyaluran kredit perbankan serta menjadi penyangga likuiditas bank pelaksana. Meski demikian, perbankan tetap harus bertanggungjawab dan disiplin dalam melepas kredit ke masyarakat.

Di masa pandemi, sektor perbankan harus memiliki daya tahan baik untuk bertahan agar dapat mendukung program pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kunci utama yang kini perlu dijaga oleh setiap bank adalah dari segi likuiditas dan penyaluran kredit. Mengingat penekanan program pemerintah untuk mendorong konsumsi rumah tangga, maka peran perbankan untuk mendorong sektor riil semakin nyata dan krusial. Oleh sebab itu, dalam tantangan perekonomian yang penuh ketidakpastian serta tekanan yang berat, peran OJK dalam mengawal dunia perbankan sangat krusial untuk mengawal perekonomian Indonesia tetap bertahan dan pada saatnya mampu melakukan jump start mengejar langkah yang tersendat karena pandemi, semoga.

Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Pemberdayaan Anak Jalanan menjadi Pengusaha Masa Depan oleh 6 Mahasiswi UB

$
0
0

“Kesuksesan berasal darimana saja, tetap fokus, komitmen, dan disiplin”-Anonim

Pengabdian masyarakat tidak selalu terfokus pada pembangunan desa, pembangunan kota dengan memberdayakan anak jalanan dapat menjadi titik balik perkembangan masyarakat perkotaan. Hal itu yang dilakukan oleh 6 mahasiswi Universitas Brawijaya, khususnya Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Mereka yang akrab disapa Dini, Diah, Dita, Elok, Fatimah, dan Tyas ini membuat sebuah gerakan bernama Inkubator Kewirausahaan Kreatif. Gerakan ini dikhususkan pada anak jalanan menggunakan pendekatan langsung agar mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan. Mereka yang saat ini sedang mengikuti PKM yang diselenggarakan oleh DIKTI ini memilih pemberdayaan masyarakat karena itu merupakan salah satu langkah kecil untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di masyarakat. Menurut mereka, permasalahan yang ada pada anak jalanan berasal dari ekonomi dan masalah keluarga. Anak jalanan ini juga akan membuat generasi selanjutnya tidak mengalami perkembangan karena anak jalanan berada pada lingkaran yang tidak akan selesai permasalahanya.

Dengan melihat permasalahan yang selalu ada di setiap sudut kota, Dini berkata “Kami sebagai anak Fakultas Ekonomi dan Bisnis membuat sebuah platform bernama K-REAR yang gunanya untuk memperbaiki taraf hidup anak jalanan dengan implementasi kegiatan inkubator wirausaha yang telah disesuaikan dengan kondisi anak jalanan”. Dini juga menambahkan bahwa K-REAR mempunyai 4 pelatihan kewirausahaan yang akan membuat anak jalanan tumbuh karakter wirausaha, dapat meningkatkan daya kreativitas, mempunyai dasar-dasar kewirausahaan, dan tentunya memiliki kemampuan dalam mengelola arus kas masuk dan keluar. Dalam program ini, anak jalanan secara tidak langsung sudah menanamkan mindset pentingnya kewirausahaan dan menumbuhkan jiwa kreativitas dalam mengolah suatu produk.

K-REAR yang sudah ada dari awal bulan Agustus 2019 ini sudah melakukan survei pasar. Subjek K-REAR ini merupakan anak jalanan yang harus dinaikkan taraf hidupnya. Dini dan teman-teman sudah menjelajahi berbagai sudut Kota Malang untuk mencari anak jalanan. Harapannya, dengan pelatihan-pelatihan yang sudah dilakukan ini dapat membantu pemberdayaan anak jalanan, dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan memberi bekal wirausaha untuk bekal masa depan.

Oleh : Niluh Maharani Safitri (niluhnoni12@gmail.com)

Tak Hanya Belajar, Para Mahasiswa Universitas Brawijaya Peduli Akan Pendidikan Anak Autis

$
0
0

“Autis bukanlah kondisi yang berbeda, tetapi bagaimana kita sebagai makhluk Tuhan tidak membeda-bedakannya”-Anonim

Kondisi luar biasa pada anak atau salah satunya autis tidak dapat diterima oleh semua orang. Banyak orang yang bahkan tidak mengetahui cara penanganan alami untuk anak autis. Dalam hal ini 6 orang mahasiswa Universitas Brawijaya yang terdiri dari Ahmad Miskatul Qulub, Firdaus Finuliyah, Anang Prayitno, Rizal Arifiandika, Maulana Rifqy Ferdiansyah, dan Nurul Fathiyah Wahab yang berada dibawah bimbingan Bapak Atu Bagus Wiguna, S.E., M.E ini membuat terobosan baru yang berhubungan dengan anak autis. Terobosan ini dinamakan Fun Hydroponics Therapy sebagai upaya peningkatan kemandirian anak autis di SLB Autis Laboratorium, Universitas Negeri Malang (UM). Terobosan ini menargetkan anak autis yang khususnya dalam program penelitian PKM di SDLB Autis Laboratorium, Universitas Negeri Malang (UM). Mereka sudah memulai penelitian ini semenjak awal November 2019. Tentunya, sudah banyak persiapan yang sudah mereka lakukan.

Ide yang sangat berpengaruh ini berawal dari perhatian lebih mereka terhadap anak autis. Ketua kelompok penelitian ini, Ahmad Miskatul Qulub menyampaikan, “Anak autis di Kota Malang jumlahnya cukup tinggi, maka dari itu anak autis ini harus mendapatkan pendidikan melalui terapi yang sesuai dengan kemampuannya, salah satunya dengan Fun Hydroponics Therapy ini”. Ahmad Miskatul Qulub atau biasa dipanggil Amiq ini juga menambahkan bahwa anak autis harus diberi kesibukan atau aktivitas sehingga anak lebih fokus untuk mengerjakan sesuatu. Amiq menjelaskan juga mengenai riset yang Ia dan teman-temannya lakukan sudah sampai pada sosialisasi ke masyarakat. Dalam rangka mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, Amiq dan kawan-kawan melakukan sosialiasi melalui aplikasi Zoom demi mencegahnya penularan Virus COVID-19.

Salah satu anggota dari tim ini, Firdaus Finuliyah, juga menjelaskan bahwa Fun Hydroponics Therapy ini memanfaatkan hidroponik sebagai media terapi untuk anak autis. Anak autis akan diajarkan penanaman, pemindahan, perawatan, hingga proses panin yang akan diolah menjadi brokoli cookies. Sayuran brokoli yang kaya akan protein ini dapat membantu kebutuhan protein anak autis. Sebelum adanya Pandemi COVID-19, SDLB Autis Laboratorium Universitas Negeri Malang (UM) sudah menggunakan hidroponik dengan jenis Deep Flow Tecnique (DFT). Tetapi karena adanya Pandemi COVID-19, pembelajaran dilakukan di rumah. Dalam menyikapi situasi pandemic seperti ini, Amiq dan kawan-kawan yang tergabung dalam Tim WEACTIVE memberikan buku panduan pelaksanaan Fun Hydroponics Therapy yang sudah dilengkapi dengan video animasi interaktif dan keberlanjutan pasca pandemic agar banyak orang terbantu dengan adanya program ini. Harapannya dengan adanya terobosan Fun Hydroponics Therapy ini dapat menjadi produk unggulan dan dapat melakukan kerjasama dengan pemerintah, khususnya Dinas Pendidikan.

Oleh : Niluh Maharani Safitri (niluhnoni12@gmail.com)

Desa Taji, Desa Sejuta Potensi di Kabupaten Malang

$
0
0

Pemberdayaan masyarakat desa sudah menjadi program dari tridharma perguruan tinggi. Tetapi, para mahasiswa maupun dosen jarang sekali mencari desa yang pelosok dengan waktu tempuh cukup lama dan medan yang terjal. Tak selalu begitu, 5 mahasiswa mahasiswi Universitas Brawijaya ini membuktikan mereka dapat memberdayakan desa yang letaknya di lereng Gunung Bromo, yaitu Desa Taji, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang. Awalnya mereka hanya ingin berjalan-jalan saja, lalu muncullah ide untuk memberdayakan masyarakat tersebut. Mereka adalah Nailus Sa’adah, Rizky Mulia Basmalasari, L. Nanda Ariefianto, Muhammad Dwiky Ilham Prasetya, dan Raissa Gloria Seahan. Mereka merupakan mahasiswa mahasiswi dari berbagai fakultas di Universitas Brawijaya. Mereka membuat inovasi yang dinamakan GAME JITU (Gerakan Millenial Taji Membantu). Gerakan ini membutuhkan sumbangsih dari Karang Taruna Desa Taji yang sudah diadakan semenjak bulan Oktober 2019.

Tak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi, GAME JITU juga melatih masyarakat Desa Taji untuk meningkatkan produktivitas. Dalam wawancara, Nailus Sa’adah, berkata “ GAME JITU melakukan 4 kegiatan yang saling berkesinambungan, yaitu pelatihan kewirausahaa, pelatihan pengolahan produk, pelatihan dan pemdampingan desain, serta pelatihan pemasaran”. Nailus melanjutkan bahwa pelatihan ini ditujukan agar masyarakat Desa Taji, khusunya Karang Taruna Desa Taji, dapat mempunyai bisnis sendiri dengan memanfaatkan sumber daya yang ada.

  Nailus dan kawan-kawan yang saat ini sedang mengikuti PKM DIKTI juga memberi inovasi produk yang akan diolah. Beberapa diantaranya adalah pembuatan pengharum kopi dan pembuatan sabun kopi. Harapannya, dengan adanya program pemberdayaan masyarakat desa ini Desa Taji dapat mandiri dengan mengoptimalkan potensi menjadi desa wisata dan dapat memasarkan produk yang sudah diolah.

Oleh : Niluh Maharani Safitri (niluhnoni12@gmail.com)

Terobosan Unik Mahasiswa Universitas Brawijaya dalam Mengatasi Rentenir

$
0
0

Budaya berhutang sudah menjamur di masyarakat Indonesia. Korban yang sering terjerat hutang paling banyak dari ibu-ibu rumah tangga. Tak jarang mereka berakhir dengan bercerai, meninggalkan keluarganya, bahkan bunuh diri. Tetapi, segala permasalahan pasti ada solusinya. Tak hanya solusi, pencegahan terhadap hutang sedang digalakkan oleh 4 mahasiswi Akuntansi dan 2 mahasiswa Manajemen, Universitas Brawijaya. Mereka sedang melaksanakan edukasi kepada ibu-ibu rumah tangga di Desa Turirejo, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Edukasi itu merupakan edukasi dan literasi keuangan rumah tangga guna meminimalisir peran rentenir menggunakan pendekatan sosial. Mereka menganggap hal ini sangat penting karena ibu-ibu rumah tangga masih kurang literasi mengenai keuangan.

Ide edukasi dan literasi keuangan rumah tangga ini diisi dengan video dan materi terkait pencegahan rentenir dan pengelolaan keuangan rumah tangga. Diah yang sebagai ketua kelompok menekankan bahwa sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya hendaknya dapat membantu masyarakat dalam edukasi keuangan. Diah menambahkan bahwa Ia dan teman-temannya juga memberikan arahan dalam pembuatan lembaga keuangan baru. Lembaga keuangan itu harapannya dapat membantu masyarakat dalam mendapatkan pinjaman dana tanpa perlu dibebani bunga yang menjerat.

Tak hanya tertarik, ibu-ibu Desa Turirejo juga menyambut baik sosialisasi dari Diah dan teman-teman. Meskipun dengan kondisi Pandemi COVID-19, Diah dan teman-teman tidak putus asa dalam mengedukasi ibu-ibu melalui layanan pertemuan virtual yang saat ini dapat digunakan secara gratis. Harapan Diah dan teman-teman semoga tidak hanya sekedar penelitian biasa, ide ini juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat kedepannya dan dapat mengubah pola pikir masyarakat mengenai hutang.

Oleh : Niluh Maharani Safitri (niluhnoni12@gmail.com)

Penelitian Isu Terorisme oleh Mahasiswa Universitas Brawijaya

$
0
0

Saat ini, isu terorisme bukanlah hal yang tabu di Indonesia. Stigma masyarakat pada terorisme selalu merujuk pada suatu agama tertentu, yaitu Islam. Adanya terduga teroris yang ditangkap Densus 88 di Wilayah Kedawung, Kelurahan Tulusrejo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang ini pada tanggal 15 Oktober 2019 sudah menghebohkan masyarakat. Hal itu membuah resah masyarakat. Berdasarkan kejadian-kejadian tersebut, 3 mahasiswi cantik Universitas Brawijaya yang terdiri dari Elok Riskika Putri, Dini Intan Permatasari, dan Firdaus Finuliyah memberanikan diri dalam meneliti kasus tersebut. Mereka yang mengikuti program PKM DIKTI bidang Penelitian Sosial Humaniora meneliti mengenai isu terorisme sejak bulan Agustus 2019.

Elok yang menjadi ketua tim ini, menegaskan bahwa penelitian mereka menargetkan masyarakat Kota Malang. Tidak hanya ingin mengetahui isu terorisme, mereka juga mengangkat isu adanya persepsi pelaku terorisme yang ditujukan pada agama tertentu. Dengan adanya persepsi itu, 3 mahasiswi cantik ini meneliti dengan menggunakan metode Systematic Literature Review (SLR) untuk mendapatkan hasil-hasil penelitian mengenai topik yang sejenis. Tak langsung turun ke masyarakat, mereka menggunakan data sekunder yang akurat mengenai penelitian ini.

Dengan adanya penelitian ini, banyak harapan yang tersemat. Salah satunya dapat membuka mata dan hati bagi para pembaca agar tidak ada lagi persepsi mengenai pelaku terorisme ditujukan pada agama tertentu. Karena sejatinya, setiap agama, apapun itu, selalu mengajarkan kebaikan. Dibalik terorisme hanyalah ada oknum-oknum yang mengatasnamakan agama.

Mahasiswa UB Mengajarkan Literasi Keuangan di SD Muhammadiyah 9 Malang melalui Media Bank Sampah

$
0
0

Literasi keuangan jarang diberikan kepada siswa Sekolah Dasar. Lain halnya dengan salah satu tim PKM dari Universitas Brawijaya, mereka adalah M. Choiri Ikhsan, M. Denay Widyatama, I Made Candra Dedi Manuarsa, Isnaini Bariza, dan Rifki Ahmad Maulana. Mereka adalah mahasiswa Universitas Brawijaya, Fakultas Ekonomi dan Bisnis dari berbagai angkatan. Mereka melakukan literasi keuangan non-tunai di SD Muhammadiyah 9 Malang dengan RFID melalui media bank sampah. Tujuannya adalah siswa Sekolah Dasar dapat lebih melek mengenai literasi keuangan. Mereka sudah melakukan kegiatan ini sejak 18 Agustus 2020.

Choiri Ikhsan, atau biasa dipanggil Choi, berkata “ada 2 latar belakang yang menjadi tujuan dari program ini, yaitu dapat meningkatkan pemahaman mengenai keuangan dan secara perilaku terbiasa dengan transaksi non tunai berbasis teknologi RFID, serta dapat menumbuhkan kepekaan terhadap lingkungan dengan mengelola sampah yang akan bekerja sama dengan bank sampah Kota Malang”. Target dalam program ini adalah siswa Sekolah Dasar yang diharapkan guru dan siswa mampu meningkatkan pemahaman secara kognitif dan perilaku transaksi non tunai.

Dampak akan program ini sangat luas dan bermanfaat. Salah satunya adalah generasi milenial lebih siap menghadapi perkembangan zaman, khususnya pada sisi keuangan dengan meningkatkan pengetahuan mengenai keuangan sedini mungkin dengan non-tunai/cashless. Harapannya dengan adanya program ini dapat menjadi fondasi untuk mempersiapkan perekonomian yang tangguh di masa depan dengan literasi keuangan. Serta, masyarakat dapat meningkatkan kepedulian kepada lingkungan dengan dimulai sejak pendidikan dasar.

Oleh : Niluh Maharani Safitri (niluhnoni12@gmail.com)


Tak Selalu Berdampak Negatif, Game PUBG Juga Berdampak Positif

$
0
0

Kebiasaan bermain game di kalangan remaja Indonesia sudah sangat sering terdengar. Tak hanya game secara luring, game secara daring yang saat ini dinikmati banyak orang menjadi terkenal. Salah satunya adalah PUBG. Game daring ini selalu menimbulkan stigma negatif di masyarakat karena pemainnya yang cenderung kecanduan dan tidak dapat menyeimbangkan waktu dengan kegiatan positif yang lain. Stigma masyarakat yang negatif menjadikan remaja banyak yang dilarang bermain game. Padahal, banyak sekali dampak positif dengan bermain game. Tiga mahasiswa UB yang terdiri dari Nathania Marshelia Sri Rahayu, Alliza Davyza Ghaniago, dan Fatimah Evanngalista Wijayanti sedang meneliti dampak positif dari bermain game PUBG. Penelitian mereka berjudul Analisis Efektivitas Game PUBG Sebagai Media Pembangun Pribadi yang Responsif dalam Menganalisa Situasi di Era Globalisasi. Mereka melakukan penelitian dengan metode Sistematic Literature Review (SLR) dan menargetkan pelajar yang masih berusia remaja.

Menurut Nathania, sebagai ketua tim, mengatakan bahwa selama ini game hanya membawa dampak negatif, maka Ia dan tim ingin mencoba membuktikan bahwa jika ada dampak positif yang dapat dimaksimalkan, akan membentu para remaja dalam mengembangkan kepribadian. Selanjutnya, Nathania berkata “penelitian ini lebih kepada game PUBG yang mampu secara efektif menjadi media pembelajaran alternative dalam mengembangkan dan mengasah kemampuan responsif otak para pelajar dalam kehidupan sehari-hari, khususnya pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotrik”.

Nathania dan tim berfikir bahwa penelitiannya dapat menjadi suatu acuan baru di dunia pendidikan. Hal itu sangat memungkinkan untuk terjadi dan dapat membantu instansi pendidikan dalam mengembangkan pola piker siswa ketika bermain game. Tentu saja bermain game juga ada syaratnya, seperti harus diberi arahan dan dampingan terhadap orang yang lebih tua, baik itu orang tua, guru, maupun pelatih. Jika hal itu dapat dimaksimalkan, Nathania yakin bahwa remaja akan mencapai kecerdasan emosi yang tinggi dan mampu mengendalikan emosinya. Harapannya, dengan adanya penelitian ini dapat membuka pandangan masyarakat, khususnya orang tua, untuk mendampingi anaknya ketika bermain game.

Oleh : Niluh Maharani Safitri (niluhnoni12@gmail.com)

Peluang Transformasi di Tengah Pandemi

$
0
0

SELAMA enam bulan terakhir, angka penyebaran Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda melambat. Hal ini dilihat dari positivity rate Covid-19 di Indonesia yang meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa persentase kasus aktif Covid-19 di Indonesia berada di angka 25,02%. Jumlah tersebut sedikit lebih tinggi dari rata-rata dunia yang berada di angka 24,78%. Meski demikian, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyampaikan bahwa tingkat kesembuhan dari pasien Covid-19 di Indonesia telah lebih baik dari sebelumnya. Data menunjukkan bahwa presentase kesembuhan sebesar 71,5%, di mana angka tersebut lebih baik dibandingkan dengan ketika awal bulan Mei yang hanya sekitar 15%.

Kenaikan presentase kasus aktif di Indonesia menjadi alarm bagi pemerintah untuk semakin memperkuat tindakan dalam mengatasi dampak kesehatan dan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Tak dapat dipungkiri bahwa pandemi Covid-19 telah mengubah berbagai aspek di setiap lini kehidupan. Perubahan terjadi dalam aspek tatanan kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia baik sisi ekonomi, pendidikan, sistem kerja, dan berbagai aspek lainnya. Pandemi Covid-19 telah menyebabkan perekonomian Indonesia mendapatkan tekanan yang cukup berat. Data BPS menunjukkan bahwa laju ekonomi kuartal I 2020 tercatat 2,97% atau terkontraksi 2,41% dibanding kuartal IV 2019. Bahkan, pada kuartal II kontraksi ekonomi makin dalam sebesar 5,32%. Sejumlah sektor pertumbuhannya terkoreksi, di antaranya adalah sektor industri (-6,19%), perdagangan (-7,57%), konstruksi (-5,39%) dan pertambangan (-2,72%). Penurunan ekonomi selama pandemi terjadi karena banyak aktivitas perdagangan yang terhenti. Oleh sebab itu, secara mutlak pandemi Covid-19 yang telah terjadi dalam beberapa bulan terakhir membawa pemerintah untuk memikirkan berbagai strategi yang perlu dilakukan setelah pandemi berakhir agar perekonomian nasional dapat jump start menuju arah yang positif.

Transformasi Ekonomi
Pandemi Covid-19 telah mengubah banyak hal secara drastis pada sejarah dan peradaban manusia. Peringkat Indonesia dalam konteks ekonomi dunia ke depan sangat ditentukan oleh desain terbaru pembangunan. Di balik musibah pandemi Covid-19 yang terjadi, sejatinya Indonesia memiliki peluang besar untuk mentransformasi perekonomiannya ke arah yang lebih inklusif. Saat ini, transformasi menuju perekonomian yang lebih efisien dan lebih sustain perlu menjadi prioritas pemerintah untuk mendorong kemandirian bangsa dengan banyak melibatkan industri dalam negeri. Hal itu karena Indonesia dalam waktu 1-2 tahun ke depan sangat berharap pada ekspor dan investasi untuk mendorong kebangkitan ekonomi, walaupun sangat berat melihat hampir seluruh wilayah di dunia juga terdampak pandemi Covid-19.

Pandemi Covid-19 secara tidak langsung memberikan kesempatan pada masyarakat Indonesia mulai menggunakan produk lokal. Hal itu karena pandemi ini menyebabkan arus produk dan barang input menjadi terbatas. Bahkan arus manusia sebagai gambaran aktivitas ekonomi juga dibatasi. Oleh sebab itu, inilah saatnya produk lokal, termasuk Industri yang berbahan baku lokal berjaya, walaupun dengan syarat untuk terus memperbaiki kualitas produk dan layanan agar dapat bersanding kualitasnya dengan berbagai produk dari luar negeri. Apabila produk lokal telah sejajar kualitasnya dengan produk dari luar negeri, maka pasca pandemi Covid-19 Indonesia akan mampu bersaing atau bahkan menguasai pasar domestik bahkan luar negeri.

Peringkat daya saing Indonesia dalam laporan Global Competitiveness Index (GCI) 2019 yang dirilis World Economic Forum (WEF) turun ke posisi 50 dari posisi 45 pada tahun sebelumnya. Tak hanya penurunan peringkat, skor daya saing Indonesia juga turun meski tipis 0,3 poin ke posisi 64,6. Berdasarkan daftar tersebut, Indonesia makin tertinggal jauh dari Singapura yang menempati posisi pertama. Selain itu, jika dilihat dari sisi efisiensinya, IMD World Competitiveness Year Book menunjukkan bahwa faktor efisiensi pemerintah, bisnis pemerintah, dan infrastruktur juga menurun secara berurutan dari posisi 25 (2019) ke posisi 31 (2020), dari posisi 20 ke posisi 31, dan dari posisi 53 ke posisi 55. Berbagai data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan dalam negeri untuk memperbaiki daya saing melalui peningkatan efisiensi, khususnya efisiensi biaya logistik yang hingga kini masih dirasa masih kurang kompetitif.

Efisiensi Logistik
Efisiensi sistem logistik di Indonesia menjadi faktor penting untuk memperkuat daya saing nasional. Untuk menciptakan produk-produk yang berdaya saing global diperlukan dukungan dan sinergi dari berbagai elemen di dalam negeri, serta sistem logistik nasional (sislognas) yang efisien dan kompetitif. Hal ini karena sektor logistik memegang peran vital dalam perekonomian Indonesia dengan kondisi geografis dan luas wilayahnya. Ironisnya, Saat ini rata-rata biaya logistik di Indonesia mencapai 25% dari Produk Domestik Bruto (PDB), di mana angka tersebut lebih tinggi dari Vietnam dan Malaysia yang dapat mencapai 13%-15% dari PDB. Selain itu, berdasarkan Logistic Performance Index (LPI) tahun 2018, Indonesia berada di peringkat 46. Peringkat tersebut menunjukkan Indonesia jauh tertinggal dari Singapura yang berada di peringkat 7, China di peringkat 29, Thailand di peringkat 32, dan Vietnam di peringkat 39.

Faktor pendukung untuk mencapai efisiensi logistik adalah penyediaan dan penataan infrastruktur pendukung logistik yang tepat. Dalam beberapa tahun terakhir pembangunan infrastruktur di Indonesia telah mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah telah membuat Indonesia menempati posisi ke-3 dengan Infrastruktur terbaik di Asia Tenggara (ASEAN). Meski demikian, efisiensi logistik tidak hanya membutuhkan perbaikan infrastruktur semata, melainkan juga memerlukan perbaikan regulasi, standar-standar yang baik, dan sistem elektronik yang terintegrasi dan handal.

Ekosistem Logistik tidak akan bisa dipisahkan dari ketersediaan sistem berbasis elektronik yang handal untuk memperkuat integrasi layanan pemerintah dan menghubungkan layanan pemerintah tersebut dengan platform-platform berbasis elektronik yang dimiliki oleh para pelaku usaha di bidang logistik. Sayangnya, beberapa platform yang telah dibuat di antaranya single submissionsingle fillingsingle payment channelsingle risk managementsingle monitoring, hingga kini belum dapat dijalankan secara optimal. Selama ini, sistem pelayanan yang lambat dan rumit adalah salah satu faktor utama penyebab terjadinya inefisiensi. Penggunaan sistem Single Window secara utuh akan memunculkan transparansi proses bisnis pada masing-masing kementerian dan lembaga pemerintah. Jika terjadi kelambatan layanan, maka akan mudah diketahui di titik mana dari rangkaian layanan pemerintah tersebut yang mengalami kelambatan. Pada akhirnya, integrasi layanan ini akan memunculkan transparansi layanan publik yang didasarkan pada standar layanan yang mampu memenuhi kebutuhan para pelaku usaha.

Guna mendukung efektifitas sistem elektronik tersebut, kementerian dan lembaga pemerintah harus menerbitkan regulasi yang efisien pula. Sistem elektronik dan regulasi yang efisien adalah dua hal yang saling membutuhkan. Sistem elektronik yang baik hanya akan mampu memberikan kinerja optimal jika didasarkan pada regulasi yang efisien pula. Jika regulasi yang dikeluarkan masih tidak efisien, maka bisa jadi sebuah sistem elektronik justru akan menjadi masalah bagi para penggunanya sebagaimana yang terjadi saat ini.

Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa jika kita bisa fokus pada peta jalan yang yang jelas dan target yang terukur, maka Indonesia akan memiliki layanan logistik yang murah dan cepat dengan biaya yang transparan dan kompetitif, sehingga sistem logistik Indonesia akan menjadi lebih efisien. Melalui efisiensi logistik yang baik diharapkan dapat meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia dan kualitas hidup masyarakat. Semoga.

Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

APBN di Masa Pandemi

$
0
0

PANDEMI yang terjadi di berbagai negara dalam beberapa bulan terakhir telah membawa ekonomi dunia masuk ke dalam jurang resesi yang tak terelakkan. Bank Dunia menyatakan bahwa Covid-19 akan membawa 92% negara di dunia jatuh ke jurang resesi. Hingga kini setidaknya telah terdapat 14 negara mengonfirmasi terjadinya resesi, di antaranya adalah Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Italia, Korea Selatan, Spanyol, Hongkong, Singapura, Filipina, Inggris, Malaysia, Polandia, Thailand, dan Jepang. Bank Dunia dalam laporan Prospek Ekonomi Global telah memperkirakan ekonomi global mengalami penurunan sebesar 5,2% pada tahun ini sebagai akibat dari pandemi covid-19. Bank Dunia juga menyebutkan bahwa resesi tersebut merupakan resesi terdalam sejak Perang Dunia Kedua.
Indonesia sebagai negara yang juga terdampak Covid-19 kini mengalami kontraksi yang mendalam.

Saat ini perekonomian Indonesia sudah berada dalam zona resesi karena pertumbuhan negatif di kuartal II dan III tahun ini. Ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 telah mengalami kontraksi 5,32%, dan untuk kuartal III 2020 Menteri Keuangan telah memastikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di kisaran -2,9% hingga -1%. Meski demikian, sejak beberapa waktu lalu, pemerintah telah mengantisipasi terjadinya krisis dengan mengalokasikan dana hingga Rp 695,2 triliun untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Menurut Bank Dunia, program perlindungan sosial Indonesia selama pandemi tersebut berjalan efektif. Hal itu terbukti dari bantuan yang berhasil menjangkau sekitar 90% dari total 40% kelompok masyarakat miskin Indonesia. Salah satunya terlihat dari penjualan ritel yang berangsur mengalami perbaikan jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Pada Mei 2020 indeks penjualan riil berada di angka minus 20% menjadi minus 10% pada Agustus 2020.

Pembahasan APBN 2021 di masa pandemi Covid-19 menjadi sesuatu yang extraordinary mengingat pengajuan dan pembahasannya dilaksanakan di tengah tingginya ketidakpastian akibat pandemi Covid-19. Sebagai instrumen countercyclical, APBN menjadi salah satu instrumen utama yang memiliki dimensi dampak yang sangat luas baik dalam melanjutkan penanganan di bidang kesehatan, melindungi masyarakat yang rentan, dan dalam mendukung proses pemulihan perekonomian nasional pada tahun 2021. Oleh sebab itu, APBN 2021 akan melanjutkan kebijakan countercyclical yang ekspansif dan konsolidatif dengan memperhatikan fleksibilitas dalam merespons kondisi perekonomian dan mendorong pengelolaan fiskal yang pruden dan berkelanjutan. Prioritas pembangunan nasional pada 2021 tidak hanya fokus kepada bidang kesehatan, tapi juga kepada pendidikan, teknologi informasi dan komunikasi, ketahanan pangan, perlindungan sosial, infrastruktur dan pariwisata.

Sebagai konsekuensi dari besarnya kebutuhan countercyclical pemulihan ekonomi di tahun 2020 dan 2021 serta upaya-upaya penguatan fondasi perekonomian, maka menjadi hal yang wajar jika defisit APBN pada 2021 masih diperlukan hingga melebihi 3% dari PDB dengan tetap menjaga kehati-hatian, kredibilitas, dan kesinambungan fiskal. Saat ini pemerintah dan DPR telah menyetujui postur APBN 2021 dengan defisit anggaran terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di angka 5,7% atau sebesar Rp 1.006,4 triliun. Meski demikian, defisit anggaran APBN 2021 menurun dibandingkan defisit anggaran dalam Perpres Nomor 72 Tahun 2020 yang sebesar Rp 1.039,2 triliun atau sekitar 6,34% dari PDB.

Sebagaimana telah disampaikan oleh Menteri Keuangan bahwa defisit ini sejalan dengan upaya melanjutkan penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional ketika potensi sisi penerimaan belum sepenuhnya pulih. Besaran defisit tersebut juga telah mempertimbangkan kebijakan fiskal konsolidatif secara bertahap kembali menuju batasan maksimal 3,0 persen PDB pada 2023. Hal ini sejalan dengan kebijakan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020.

Postur APBN 2021 dari sisi kebijakan pendapatan negara, saat ini pemerintah berupaya untuk melakukan optimalisasi penerimaan negara melalui perluasan basis pajak sekaligus mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional, melalui pemberian insentif sejalan dengan upaya reformasi di bidang perpajakan dan PNBP. Berdasarkan asumsi makro dalam APBN 2021 tersebut, pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp1.743,65 triliun yang berasal dari pendapatan dalam negeri Rp1.742,75 triliun dan penerimaan hibah Rp0,9 triliun. Pendapatan dalam negeri diperoleh dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.444,54 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp298,2 triliun.

Sementara itu, alokasi belanja negara mencapai Rp2.750,0 triliun atau 15,6% terhadap produk domestik bruto (PDB). Belanja diarahkan untuk mendukung pemulihan ekonomi dan prioritas pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan, teknologi informasi dan komunikasi, infrastruktur, ketahanan pangan, pariwisata, dan perlindungan sosial. Secara umum, pemerintah tetap akan melanjutkan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) 2021 dengan fokus kepada dukungan penanganan kesehatan, perlindungan sosial, sektoral kementerian/lembaga dan pemda, UMKM, pembiayaan korporasi, dan insentif usaha.

APBN dan Pemulihan Ekonomi

Saat ini Indonesia berada di persimpangan jalan yang kurang kondusif. Di satu sisi penerimaan negara rentan berada di bawah target, namun di lain pihak kemungkinan membengkaknya pengeluaran negara juga cukup besar. Pada dasarnya, setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah di masa krisis akan mempertimbangkan beberapa sasaran strategis, yakni mengurangi dampak negatif krisis terhadap masyarkat berpendapatan rendah dan rentan, pengelolaan kesehatan yang lebih baik serta mengupayakan pemulihan pembangunan ke jalur semula.

Pemerintah melalui APBN 2021 berupaya keras untuk dapat mendorong ekonomi nasional mampu keluar dari jurang resesi. Melalui berbagai alokasi belanja yang ada diharapkan dapat menunjang target pertumbuhan ekonomi sekaligus menangani kesehatan dengan lebih baik serta mengurangi dampak menurunnya kinerja dunia usaha akibat pandemi berkepanjangan. Hal tersebut karena konsumsi pemerintah melalui belanja bisa menjadi daya ungkit yang kuat, terutama saat konsumsi swasta dan rumah tangga merosot. Oleh sebab itu, isu mengenai penyerapan belanja pemerintah saat ini harus segera diselesaikan agar dorongan bagi pemulihan ekonomi nasional dapat berjalan optimal.

Tak hanya menjadi instrumen utama bagi pemulihan ekonomi nasional, APBN 2021 juga dapat menjadi momentum transisi menuju adaptasi kebiasaan baru secara bertahap untuk menyelesaikan permasalahan di sektor kesehatan, ekonomi, sosial yang dihadapi Indonesia. Selain itu, APBN 2021 tersebut juga dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan reformasi struktural dalam rangka menata kembali alokasi sumber daya ekonomi nasional agar lebih efisien dan efektif untuk tahun-tahun mendatang.

Langkah antisipasi yang diwujudkan dalam pos-pos anggaran APBN 2021 seharusnya mendorong optimisme yang tinggi bahwa kita bersama bisa mengatasi resesi yang terjadi didepan mata. Meski demikian, kita perlu juga menyadari bahwa ketidakpastian terutama terkait perkembangan dan penanganan covid-19 masih sangat tinggi. Hal ini tentu berdampak pada kinerja perekonomian. Kita semua berharap bahwa vaksin dan obat dari virus ini secepatnya ditemukan, sehingga proses pemulihan ekonomi semakin jelas dan langkah – langkah pemulihan yang diterjemahkan dalam APBN 2021 mampu melakukan perbaikan dan membawa perekonomian kita seperti yang kita harapkan semua. Wallahu’alam.

Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Sektor Pertanian: Harapan Pemulihan?

$
0
0

Di tengah terjadinya kontraksi pertumbuhan ekonomi akibat pandemi, sektor pertanian pada triwulan II/2020 justru dapat menjadi pengungkit yang membantu pertumbuhan ekonomi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kontribusi pertanian ke perekonomian meningkat pada kuartal II/2020 sebesar 15,46%, dari tahun sebelumnya yang hanya tumbuh sebesar 13,57%.

Selain itu, data BPS juga menunjukkan bahwa di antara segelintir sektor yang mampu meraih pertumbuhan positif pada kuartal II/2020, pertanian menjadi salah satu sektor yang mampu tumbuh sebesar 2,19% (yoy). Adapun sektor selain pertanian yang juga tumbuh positif pada kuartal II/2020 adalah informasi dan komunikasi sebesar 3,44% (yoy), dan pengadaan air sebesar 1,28% (yoy).

Pertanian memiliki peranan penting karena sektor tersebut merupakan penyumbang terbesar ketiga dalam struktur ekonomi Indonesia. Selama pandemi, resiliensi sektor pertanian tak lain karena sektor tersebut berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia terhadap makanan sehingga masih akan dibutuhkan dan berproduksi. Sementara itu ditinjau dari sisi epidemiologi, wabah Covid-19 mayoritas menyebar di perkotaan atau kawasan padat penduduk. Artinya, pertanian yang mayoritas tidak berada di perkotaan relatif lebih aman.

Problematika Sektor Pertanian

Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam melimpah, terutama pada bidang pertanian. Sayang, di balik fakta tersebut ternyata pertanian Indonesia masih memiliki berbagai masalah besar dari hulu hingga hilir yang menghambat kemajuan pertanian Indonesia.

Pertanian yang merupakan salah satu sektor vital dalam menghadapi perkembangan populasi manusia di Indonesia, utamanya penyedia pangan serta lapangan pekerjaan, memiliki permasalahan serius antara lain terkait lahan, irigasi, benih, pupuk, alat mesin pertanian, penyuluh lapangan (sumber daya petani), tenaga kerja, hingga permasalahan tata niaga pertanian yang tak kunjung usai.

Pada sisi tenaga kerja, petani di Indonesia masih didominasi oleh generasi tua yang rata-rata berusia di atas 50 tahun. Berdasarkan data sensus pada 2010, usia rata-rata petani di Indonesia adalah 52 tahun. Selanjutnya pada 2013, hasil Sensus Pertanian juga menunjukkan bahwa mayoritas petani di Indonesia merupakan kelompok masyarakat dengan usia 45–54 tahun. Hal itu kian diperkuat dengan hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menunjukkan bahwa hampir tidak ada anak petani yang ingin menjadi petani.

Hanya sekitar 4% pemuda di Indonesia dengan usia 15–35 tahun yang berminat menjadi petani. Sisanya, sebagian besar cenderung untuk memilih bekerja di sektor industri. Artinya, jumlah petani yang berganti ke okupasi ke luar sektor pertanian lebih besar dibanding anak muda yang bersedia menekuni usaha pertanian.

Penurunan minat generasi muda di sektor pertanian menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera mencari solusi atas masalah tersebut. Berkurangnya jumlah petani akan berimplikasi pada penurunan ketersediaan produk dalam negeri serta tergerusnya lapangan pekerjaan. Pasalnya, pertanian merupakan sektor yang berkontribusi menyediakan 40% lapangan pekerjaan. Selain itu, target pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2045 akan sulit terealisasi jika permasalahan regenerasi petani terus dibiarkan.

Dari segi luas lahan, tercatat ada 87,63% atau 22,9 juta rumah tangga petani yang memiliki kepemilikan lahan kurang dari 2 hektare. Sekitar 5 juta petani dilaporkan memiliki luasan lahan di bawah 0,5 hektare. Berdasarkan kondisi tersebut, petani tidak dapat memaksimalkan produksi di lahannya dan kemudian menjadi salah satu pemicu yang memengaruhi tingkat kesejahteraan petani.

Data BPS (2018) menunjukkan analisisnya bahwa alih fungsi lahan sawah capai 200.000 ha per tahun. Selain itu, data juga menunjukkan bahwa luas lahan pertanian pada 2018 hanya tersisa 7,1 juta hektare, di mana angka tersebut mengalami penurunan dibanding tahun 2017 yang masih 7,75 juta hektare.

Persoalan pertanian ini akan mampu lebih cepat diselesaikan jika petani di Indonesia mulai bersedia bersahabat dengan penggunaan teknologi modern. Selama ini, penggunaan teknologi dalam pertanian di Indonesia masih terbelakang dibandingkan dengan negara lain. Salah satu penyebab tertinggalnya pertanian di Indonesia tak lain ialah karena usia petani di Indonesia yang sudah tak muda lagi.

Di sisi lain, kecepatan pertumbuhan penduduk Indonesia dan dunia, meningkat pesat tanpa penyeimbangan luasan lahan produksi pertanian. Oleh sebab itu, solusi nyata dan masuk akal adalah penguatan teknologi pertanian diikuti dengan implementasi diversifikasi pangan.

Signifikansi Investasi dalam Sektor Pertanian

Baru-baru ini pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang memiliki banyak pro dan kontra yang juga menyentuh sektor pertanian. UU Cipta Kerja untuk sektor pertanian secara lugas membuka peluang untuk investasi pertanian. Hal itu dapat dilihat dari beberapa perubahan dalam payung hukum baru tersebut, seperti dihapuskannya batasan penanaman modal asing (PMA) di komoditas hortikultura (UU 13 Tahun 2010) yang sebelumnya dibatasi di 30% dan juga pada komoditas perkebunan (UU 39 Tahun 2014).

Salah satu tujuan perubahan batasan PMA dalam UU Cipta Kerja ini diharapkan mampu memberi dampak positif pada kesejahteraan petani di Tanah Air dan peningkatan produksi pertanian domestik. Hadirnya investor di sektor pertanian diharapkan dapat membantu memperbaiki ketersediaan lapangan kerja dan perkembangan teknologi di sektor pertanian, mengingat hingga saat ini efisiensi sektor pertanian di Tanah Air masih jauh dari harapan.

Meski demikian, sejatinya mengubah batasan PMA bukan serta-merta menyelesaikan berbagai permasalahan kompleks yang ada di sektor pertanian. Jika pemerintah tidak segera mengurai dan mencari solusi dari satu per satu masalah yang ada di sektor pertanian, perubahan batasan PMA untuk sektor pertanian dalam UU Cipta Kerja justru bisa menjadi bumerang bagi kesejahteraan petani Indonesia.

Sejatinya masuknya investasi dapat membantu dalam membentuk sektor pertanian yang resiliensi dan berkelanjutan melalui pendanaan riset dan pengembangan, teknologi, maupun pengembangan kapasitas sumber daya masyarakat. Namun, hal itu perlu diikuti dengan transfer teknologi dan pengetahuan yang harus dijalankan oleh investor agar petani Indonesia dapat merasakan dampak positif jangka panjang atas kehadiran PMA.

Insentif Pertanian

Sejarah mencatat bahwa krisis membawa sebagian besar tenaga kerja kembali ke sektor pertanian. Berkaca pada krisis yang pernah terjadi pada 2008 bahkan krisis 1998, tak sedikit masyarakat Indonesia yang memilih kembali ke sektor pertanian, sehingga bukan tak mungkin jika dalam beberapa bulan ke depan data statistik memiliki kecenderungan menunjukkan adanya peningkatan tenaga kerja di sektor pertanian akibat pandemi. Sementara pada kondisi normal, banyak masyarakat perdesaan yang memilih mengadu nasib di perkotaan menjadi pekerja sektor manufaktur maupun jasa.

Resiliensi sektor pertanian terhadap pandemi dan kecenderungan peningkatan tenaga kerja sektor pertanian menjadi momen baik bagi pemerintah untuk mereformasi sektor pertanian menjadi lebih baik. Pemerintah perlu terus mendorong agar petani mulai memasukkan unsur teknologi di dalam proses produksi baik di on-farm maupun off-farm untuk peningkatan daya saing dan memenuhi kebutuhan pasar yang lebih besar dan dinamis.

Kunci dari kemandirian suatu bangsa berpijak dari kekuatan ketahanan pangannya. Melalui formula kebijakan yang tepat, Indonesia sebagai negara yang telah diberkati dengan kekayaan alam yang melimpah, memiliki peluang sangat besar untuk menjadikan sektor pertanian sebagai leader pemulihan ekonomi yang kita alami saat ini. Semoga!

Prof Candra Fajri Ananda Ph.D
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

PSMM FEB UB DIPERCAYA TINGKATKAN KAPABILITAS MANAJERIAL KEPALA SMK SE-INDONESIA

$
0
0

Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia bersama dengan perguruan tinggi terpilih menjalankan Program Peningkatan Kapabilitas Manajerial Kepala SMK Berbasis Industri. Program Magister Manajemen (PSMM) Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) menjadi salah satu perguruan tinggi yang dipercaya memberikan pelatihan dan pendidikan kepada Kepala SMK se-Indonesia.

Program Peningkatan Kapabilitas Manajerial Kepala SMK Berbasis Industri  merupakan salah satu upaya untuk mensukseskan program revitalisasi SMK yang dicanangkan Presiden RI sejak 2016 silam dengan tujuan membekali Kepala SMK jiwa kepemimpinan dan kewirausahaan seperti CEO. Hal ini mengingat peran Kepala SMK yang menjadi salah satu penentu keberhasilan revitalisasi SMK. Kepemilikan jiwa kepemimpinan dan kewirausahaan seperti CEO oleh seorang Kepala SMK sangat dibutuhkan khususnya dalam menyusun strategi atau kebijakan untuk membawa guru, karyawan, dan peserta didik memiliki karakter kuat, terampil, kreatif, inovatif, imajinatif, peka terhadap kearifan lokal serta entrepreneurship.

Sebagai penyelenggara pelatihan dan pendidikan, PSMM FEB UB telah merancang program dengan baik dengan menyiapkan materi yang berkualitas dan melibatkan pelatih dan pendidik yang berkompeten. Program ini terdiri dari tahapan pembelajaran daring dan luring dengan total hari pelaksanaan yaitu 62 hari. Adapun materi diklat yang diajarkan yaitu Karakter CEO, Manajemen Strategis dan Kinerja, Manajemen Inovasi, Penguasaan Pribadi dan Kepemimpinan, Manajemen SDM dan Perubahan, dan Pemikiran Sistem untuk Pengambilan Keputusan. Diakhir program, para Kepala SMK ini diwajibkan untuk mengikuti ujian sertifikasi dan seminar hasil sebagai konfirmasi capaian program.

Harapan dari diadakannya program ini adalah Kepala SMK dapat memposisikan diri di sekolah bukan sekedar sebagai Kepala Sekolah, namun juga sebagai Chief Excecutive Officer (CEO) dari sekolah tersebut. Dalam tahapan pembelajaran, PSMM FEB UB juga telah merancang metode dan media pembelajaran yang membantu Kepala SMK untuk dapat menjalankan perannya sebagai motivator, inovator, organizer dan controller yang merupakan bagian dari implementasi kemampuan manajerial.

Viewing all 1277 articles
Browse latest View live