Di era digital dengan perkembangan cepat di berbagai sektor, perubahan jenis pekerjaan terasa semakin cepat bahkan terkesan mendadak bagi orang yang terlambat menyadari. Beberapa dari kita mungkin masih ingat betapa pentingnya peran tukang pos di masa lalu sehingga digambarkan sebagai tokoh yang paling bersalah di awal film Laskar Pelangi karena terlambat mengirim surat. Atau peran penting kurir pengantar roll film bagi penonton bioskop seperti yang diceritakan dalam film Janji Joni. Pekerjaan-pekerjaan manual semacam itu berangsur menghilang atau minimal berkurang perannya karena tergantikan oleh teknologi.
Laporan berjudul The Future of Jobs Report dari World Economic Forum tahun 2018, semakin menegaskan bahwa tidak ada pekerjaan yang bersifat permanen. Masa depan adalah dunia yang berbeda. Kecepatan adalah kunci utama untuk bertahan dalam dunia kerja. Menghadapi perubahan yang terjadi, setidaknya perusahaan-perusahaan di berbagai sektor industri yang terlibat survei mengatakan bahwa 54% pegawai mereka membutuhkan re-skilling atau pelatihan keterampilan baru dalam kurun waktu 2018-2022, terutama pada perusahaan atau departemen yang berkaitan erat dengan teknologi. Respon tersebut tampaknya akan menjadi langkah strategis berbagai perusahaan agar dapat bertahan dalam persaingan usaha.
Bagi individu, baik pegawai maupun calon pegawai, re-skilling adalah hal yang peru diperhatikan. Evaluasi kompetensi diri merupakan langkah awal yang penting. Keengganan introspeksi diri dan berkembang berarti merencanakan kegagalan di masa depan. Pada posisi ini, individu ditempatkan pada posisi yang krusial; sebagai motor penggerak perubahan, baik bagi organisasi maupun bagi dirinya sendiri. Bagi individu yang termasuk dalam kategori “tidak perlu re-skilling” bukan berarti aman karena perubahan datang dengan cepat. Jika kita sudah berada dalam kompetensi yang stabil, maka up-skilling atau peningkatan kemampuan adalah cara terbaik untuk bertahan dalam persaingan di masa depan. Perubahan itu pasti terjadi, hanya soal waktu. Mau mengikuti atau tergilas tanpa arti.
Laporan WEF 2018 ini juga mengingatkan kita bahwa untuk mendapatkan pekerjaan masa depan dibutuhkan kemampuan cepat dalam beradaptasi, wawasan luas, dan fleksibilitas dalam menghadapi perbedaan. Berbagai jenis pekerjaan baru seolah muncul secara tiba-tiba dan mengagetkan generasi lama. Content creator, financial adviser, programmer, dan youtuber adalah beberapa contoh pekerjaan baru yang lahir dari tiga kondisi tersebut. Motif achievement atau hasrat untuk menaklukkan tantangan baru menjadi semakin relevan sejak konsep tersebut digaungkan oleh McClelland tahun 1961.
Individu dengan motif achievement yang tinggi akan berusaha menaklukkan tantangan untuk membuktikan bahwa dirinya mampu bersaing. Semakin besar tantangan yang dihadapi tentu saja semakin besar resikonya. Melakukan re-skilling maupun up-skilling juga berarti melakukan mitigasi resiko agar hasil yang dicapai semakin optimal. Salah satu cara memulai re-skilling adalah menginvestasikan sedikit waktu untuk belajar hal baru, bias melalui media digital ataupun menghadiri forum atau kelas tambahan di mana kita dapat menemukan tantangan baru. Langkah kecil diperlukan agar kita siap jika sewaktu-waktu pekerjaan kita tidak lagi memiliki masa depan.
Di negara-negara maju, motif achievement telah dibiasakan sejak dini bahkan telah terintegrasi dalam kurikulum pendidikan dasar. Selain itu, peran dunia pendidikannya telah mengarah pada lahirnya tenaga-tenaga terampil yang siap menghadapi perubahan di dunia kerja. Kerjasama antara dunia industri dengan pusat riset-universitas bukan sekedar formalitas belaka sehingga sarana untuk re-skilling maupun up-skilling tersedia dengan baik. Maka tidak heran jika berbagai perubahan besar dimulai oleh negara-negara maju.
Bagi saya yang bergelut di bidang akademik, laporan tersebut menjadi tamparan sekaligus penyemangat. Tamparan karena ingat pernah menjadi bagian dari golongan yang enggan berubah dan berpindah dari zona nyaman. Penyemangat karena semakin memperkuat keyakinan bahwa keputusan menempuh studi lanjut di eropa sebagai langkah terbaik untuk up-skilling, bukan hanya untuk institusi tetapi juga untuk persiapan diri menghadapi perubahan di masa depan.
Masih menurut WEF 2018, pegawai di Indonesia dilaporkan secara rata-rata membutuhkan 90 hari untuk melakukan re-skilling. Waktu yang cukup bagi seorang individu untuk menguasai dasar keterampilan baru. Kalau kamu punya waktu 90 hari tersebut, keterampilan baru apa yang mau dipelajari?. Kalau saya sih mau belajar coding, supaya tidak salah paham kalau dikode sama mahasiswi… hehehe…
@radityo Dosen FEB UB